Oleh: Muhaimin Iqbal
Sebuah super mega proyek diresmikan mulai pengerjaannya di Jakarta kemarin( 09/10/14) yaitu tanggul laut raksasa di teluk Jakarta. Proyek yang akan menelan investasi Rp 951 trilyun atau setara lebih dari separuh APBN – P 2014 ini nampaknya juga disadari oleh pemerintah akan banyak menimbulkan efek samping, oleh karenanya pemerintah-pun membuka peluang untuk dikritisi. Saya sendiri tidak mau mengkritisinya karena ini bukan kompetensi saya, tetapi sekedar memberikan pemikiran alternative-nya dengan yang insyaAllah kita tahu ada dasarnya.
Kalau dilihat dari tujuannya, proyek tanggul raksasa tersebut ada tiga yang utama yaitu untuk mengatasi
masalah banjir yang terus berulang, untuk mencegah penurunan permukaan
tanah dan penyediaan air baku bagi warga Jakarta.
Kita tahu bahwa banjir di Jakarta terus meningkat dari sisi severity (tingkat kerusakannya) dan juga frequency-nya, yang semula terjadi banjir besar lima tahunan menjadi hampir setiap musim hujan banjir besar.
Selain
karena terus berkurangnya daya serap tanah terhadap air hujan yang
turun, permukaan tanah di Jakarta terus mengalami penurunan sekitar 4 cm
per tahun dan terus meningkat. Dengan meningkatnya laju penurunan permukaan
tanah ini – bila dibiarkan terus terjadi – Jakarta akan berada 3- 5 m
di bawah permukaan laut dalam 50 tahun kedepan, ini kurang lebih akan
seperti bandara Schiphol Amsterdam yang 4 m di bawah permukaan laut.
Problem
air bersih juga sudah semakin serius, bulan-buan kemarau seperti
sekarang ini air bersih sudah menjadi langka di sebagian wilayah
Jakarta. Yang masih tersedia-pun sudah banyak yang tidak layak minum
karena salinitas – mengandung garam – yang tinggi.
Walhasil memang harus ada sesuatu yang besar yang dilakukan pemerintah untuk mencegah situasi terus memburuk dari banjir yang semakin besar sampai tenggelamnya kota Jakarta.
Tetapi
yang dilakukan oleh pemerintah tidak harus sesuatu yang kontroverssial
dampaknya terhadap lingkungan seperti pembuatan tanggul raksasa
tersebut. Manusia dengan ilmunya yang terbatas, secanggih apapun
rancangannya – selalu ada hal yang tidak diketahuinya.
Sesuatu
yang dibangun bukan sebagai bentuk ketaatan, dampak yang tidak
diketahui tersebut biasanya buruk. Itulah dalam pengobatan misalnya, ada
istilah efek samping dari obat-obat kimia. Dalam pembangunan ada dampak
lingkungan.
Sebaliknya
sesuatu yang dibangun dengan ketaatan, meskipun tetap kita tidak tahu
semua akibat dari ketaatan tersebut – tetapi dampak samping dari suatu
ketaatan biasanya selalu baik – maka kita kenal adanya hikmah dari suatu
ketaatan.
Perintah
yang sangat ekstrem sekalipun – seperti yang turun ke Nabi Ibrahim
Alaihi Salam untuk menyebelih anaknya, ketika itu dilaksanakan dengan
ketaatannya – maka hasilnya adalah suatu kebaikan hingga saat ini.
Berapa juta domba disembelih setiap Iedhul Qurban disamping hewan-hewan
qurban lainnya. Berapa juta lagi orang yang bisa makan daging hari-hari
itu, dan berapa juta lagi orang yang mendapatkan rezekinya setiap tahun
dari aktivitas qurban ini, para pedagang, para peternak, jasa pengiriman
dslb.
Maka
saya ingin memberikan pemikiran alternatif bagaimana bila pencapaian
tujuan yang sama tersebut di atas – mencegah banjir, mencegah penurunan
permukaan tanah dan menyediakan air bersih bagi warga Jakarta – juga
dilakukan dalam ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Ketaatan
kepadaNya dalam bentuk membenarkan firman-firmanNya dan berusaha
mengamalkannya di lapangan tanpa banyak kata ‘tetapi’. Firman-firmannya
itu adalah antara lain tentang kurma yang disebut sampai 21 kali di
dalam Al-Qur’an. Bahkan dalam surat Yaasiin (paling banyak dihafal
sesepuh Jakarta) kurma disebut secara specifik mengelola air atau
memancarkan mata air (QS 36:33).
Ketaatan
kepada RasulNya antara lain melaksanakan perintahnya dalam hadits untuk
menanam pohon kurma meskipun peristiwa kiamat telah mulai, artinya
lebih-lebih lagi sebelum itu terjadi.
Dalam tulisan saya sebelumnya “Memakmurkan Bumi, Mulai Dari Yang Kita Bisa”
saya telah memberikan ilustrasi detil bagaimana pohon kurma memperbaiki
permukaan air tanah sampai memancarkan mata air. Pasti juga bukan
kebetulan bila pohon kurma adalah pohon yang paling tahan salinitas –
air yang mengandung garam atau air laut.
Bila air yang kita minum rata-rata mengandung garam 300 parts per million (ppm), tanaman normal hanya bisa tahan di kondisi air yang mengandung garam sampai 1,200 ppm. Pohon kurma mampu bertahan dengan kondisi air yang mengandung garam sampai sepuluh kali itu atau 12,000 ppm.
Apa
ini artinya ? di Jakarta Utara yang air tanahnya sudah terlalu asin
untuk diminum manusia, terlalu asin untuk pepohonan pada umumnya –
tetapi untuk pohon kurma, besar kemungkinaannya akan tetap bisa tumbuh
dengan baik.
Untuk
membuktikan hal ini sederhana saja, saya tidak akan minta bagian dari
anggaran investasi yang besarnya Rp 951 trilyun tersebut – cukup para
pembaca situs ini yang tinggal di daerah Jakarta Utara ataupun bagian
dari Jakarta lainnya yang air tanahnya sudah terasa asin, silahkan Anda
mencoba menanam pohon kurma – kalau tidak punya bibit, boleh minta ke
saya atau membibit sendiri seperti yang pernah saya tulis di situs ini
juga.
Bila
dalam setahun dari sekarang pohon Anda bisa tumbuh sehat seperti pohon
setahun sejenis yang saya tanam di tempat lain dalam tulisan “Manusia Yang (Tidak) Belajar”, atau mendekatinya. Maka berarti di tempat Anda yang airnya asin-pun kurma insyaAllah bisa tumbuh.
Setelah
kita sampai pada tingkat ainul yakin ini, maka kita bisa mulai nanam
kurma besar-besaran di Jakarta Utara khususnya, Jakarta dan wilayah
Jabodetabek pada umumnya. Untuk Jabodetabek yang airnya tidak asin, saya
sudah sampai tingkatan ainul yakin karena sudah menanam dan melihat
sendiri hasilnya seperti yang saya foto di link tulisan tersebut di
atas.
Untuk
apa tanaman kurma banyak-banyak ini ?, untuk menjawab permasalahan yang
sama yang dicoba atasi dengan Rp 951 trilyunnya proyek tanggul laut
raksasa tersebut di atas.
Perakaran pohon-pohon kurma itu akan mencegah intrusi air laut, meningkatkan kapasitas soil storage untuk menyimpan air tawar dari hujan, dan meningkatkan permukaan air tanah – water table. Dengan ini permukaan tanah insyaAllah tidak akan turun – Jakarta tidak menjadi Amsterdam !, mata
air tawar bermunculan dimana-mana (QS 36:34) dan ketika hujan deras-pun
turun Jakarta tidak menjadi banjir – karena airnya terserap ke tanah
yang soil storage-nya membaik dan terus ke bawah memperbaiki water
table.
Semudah
inikah ? oh tidak mudah, menuntut kita semua rame-rame menanam kurma –
dan ini tidak mudah, dari ribuan yang membaca tulisan ini – paling hanya
beberapa yang akan melakukannya – itulah tidak mudahnya, karena kita
tidak yakin bahwa yang kita lakukan ini akan ada efeknya.
Sama
degan pembuatan tanggul laut raksasa yang dipenuhi efek samping yang
kita tidak ketahui, menanam pohon kurma juga dipenuhi oleh efek samping
yang tidak atau belum kita ketahui.
Bedanya
adalah bila kegiatan menanam kurma ini adalah dalam rangka ketaatan
kepada Allah dan rasulNya tersebut di atas, efek samping itu insyaAllah
semuanya baik – sama dengan pengorbanan Nabi Ibrahim Alaihi Salam ketika
membenarkan dan melaksanaakan perintah menyembelih anaknya demi
ketaatan atas perintahNya.
Selain
insyaAllah bisa mengatasi masalah banjir, penurunan permukaan tanah dan
menghadirkan kembali mata air-mata air di Jakarta, juga memberi makan
bagi penduduknya, memberi oksigen untuk pernafasan, menyerap CO2 yang
mencemari lingkungan dan entah apa lagi yang akan hadir dari pohon yang
disebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki keberkahan seperti
seorang muslim ini.
Yang
jelas, kita tidak butuh Rp 951 trilyun untuk mengatasi banjir,
tenggelamnya Jakarta dan masalah air bersih. Kalau toh dana itu ada,
banyak sekali program-program lain yang memerlukannya. Insyaallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar