Oleh: Muhaimin Iqbal
Hari-hari ini ratusan ribu jama’ah haji Indonesia sedang wukuf di Arafah untuk selanjutnya besuk mulai melempar jumrah di Mina. Melempar jum’rah adalah bagian dari rangkaian ibadat haji – yang pelajarannya diambil dari apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam dan putranya Ismail ‘Alaihi Salam sekitar 3,900 tahun lalu. Syariatnya kemudian dicontohkan langsung oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ada pelajaran yang dimudahkan oleh Allah di syariat ini, tetapi apakah kita sudah mengambil pelajaran ?
Pelajaran
yang dimudahkan itu antara lain melalui kisah yang luar biasa – yang
bila diceritakan sekali saja manusia akan langsung bisa
mengingatnya. Ini menyangkut karakter manusia, bila dia mendengar
cerita yang biasa-biasa saja – akan mudah tumpang tindih dengan
cerita-cerita biasa lainnya sehingga tidak mudah untuk diingat.
Tidak
demikian dengan cerita yang luar biasa – yang tidak ada padanannya,
tidak ada kemiripannya dengan yang lain – maka pasti cerita itu mudah
diingat. Dari anak kecil sampai orang tua muslim, hampir pasti dia tahu
cerita tentang Ibrahim yang disuruh menyembelih putra satu-satunya saat
itu yaitu Ismail – putra keduanya Ishaq lahir beberapa puluh tahun
kemudian.
Detik-detik peristiwa ini seperti direkam secara slow-motion oleh Allah sehingga detil ceritanya lebih mudah lagi tersimpan di memori kita. Rangkaian ayat-ayatNya adalah sebagai berikut :
“Ya
Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang
anak yang amat sabar.” (QS 37 : 100-101)
Bagian
ini menceritakan betapa gembiranya Nabi Ibrahim menjadi seorang ayah,
Ibrahim yang sudah mulai tua baru dikarunia seorang anak. Tetapi
kemudian diuji dengan ujian yang teramat berat di ayat berikutnya:
“Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu;
insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS 37 : 102)
Sekarang
bayangkan nuansanya seorang bapak harus mengajak bicara anak
satu-satunya untuk sesuatu yang teramat berat – yaitu perintah untuk
menyembelihnya. Maka inilah peristiwa moment of truth yang terekam detil untuk menjadi pelajarannya ;
“Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia:
"Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu",
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS 37 : 103-107)
Inilah
inti dari pelajaran yang sesungguhnya yang harusnya mudah untuk diingat
dan di napak-tilasi dari Ibrahim ‘Alaihi salam bersama putranya yang
sabar Ismail ‘Alaihi Salam. Pelajaran itu adalah pelajaran untuk
membenarkan perintahNya dan kemudian melaksanakannya.
Bahkan
dalam ayat lain nabi kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
diperintahkan langsung oleh Allah untuk menceritakan kepada umatnya
kisah Ibrahim sebagai seorang yang sangat membenarkan ini :
“Ceritakanlah
(hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (QS 19:41)
Dari pelajaran tersebut, bila setiap tahun ratusan ribu jamaah haji Indonesia melempar jumrah dan berqurban di mina, kemudian kita
yang lagi di Indonesia juga jutaan orang mengikutinya dengan ber-qurban
– maka apakah kita sudah mengambil pelajarannya ? apakah kita sudah membenarkan dan melaksanakan perintah-perintahnya ?
Tentu
yang wajib-wajib dalam ibadat khusus seperti sholat, puasa, haji, zakat
dlsb insyaallah kita sudah melaksanakannya. Tetapi bagaimana dengan
perintah-perintah lainnya dalam kehidupan sosial, dalam muamalah, dalam
berpolitik dlsb. adakah kita sudah membenarkan dan melaksanakannya ?
Kita
tidak diuji oleh Allah dengan ujian yang seberat ujian Nabi Ibrahim dan
anaknya Ismail, kita tidak sampai disuruh menyembelih anak kita. Kita
hanya disuruh meninggalkan riba, memakmurkan bumi, berhukum pada hukum
Allah – bukan hukum manusia yang proses pembuatannya saja sudah penuh
kepentingan transaksional – dan lain sebagainya. Apakah kita sudah
membenarkan dan melaksanakan perintah-perintah seperti ini ?
Sangat
bisa jadi kita tidak tahu hikmah dan pelajaran dari suatu perintah,
tetapi ketaatan kita untuk melaksanakan perintah – pasti mengandung
kebaikan untuk kita. Segala sesuatu yang tidak diketahui – unknown factors – yang menjadi effect atau buah dari suatu ketaatan adalah kebaikan.
Seperti
yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail tersebut di atas, bukan hanya
dia tidak jadi menyembelih anaknya. Tetapi Allah berikan pengganti
berupa sembelihan yang besar, dan kemudian Allah juga puji dengan pujian
yang baik hingga akhir jaman.
“Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang
yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim"”. (QS 108-109)
Sebaliknya
ketika manusia berbuat sesuatu bukan dalam rangka ketaatan dalam
menjalankan perintahNya, sesuatu yang tidak diketahuinya dampaknya bisa
jadi sangat buruk.
Misalnya
ketika kita bermuamalah dengan riba, bisa jadi seolah kita untung dan
seolah negeri ini berputar ekonominya. Tetapi sebagai system ekonomi
yang Allah menyatakan perang terhadapnya (QS 2:279) – system ekonomi ini
tidak memakmurkan rakyatnya meskipun sudah 69 tahun merdeka.
Lho
negeri lain bisa makmur dengan system ribanya ? Untuk ekonomi satu
dimensi – sebagai ekonomi saja – bisa jadi mereka kelihatan makmur,
tetapi di dimensi lainnya yaitu sosial an kehidupan – mereka sejatinya juga membuat kehancuran.
Contoh
lain adalah apa yang hari-hari ini kita saksikan di panggung politik,
betapa menyesalnya rakyat yang sudah memilih wakil-wakilnya yang
nantinya membuat hukum di negeri ini – ternyata mereka sudah berantem
dan berebut kepentingan sejak hari pertama mereka dilantik.
Salah
siapa ? ya salah kita juga, kita sudah diberi tahu oleh Allah hukumnya
yang maha adil yang meliputi segala urusan kehidupan kita – eh
malah kita merasa lebih tahu dan berusaha membuat hukum untuk kita
sendiri. Bisa dibayangkan akibatnya ketika manusia yang penuh
kepentingan ini dibiarkan membuat hukumnya sendiri, menentukan apa yang
benar dan salah, menentukan yang boleh dan tidak boleh untuk kepentingan
dirinya sendiri ? yang bener saja !
Maka kita diingatkan sampai empat kali oleh Allah di surat Al-Qomar : “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (QS 54 :17, 22, 32,40)
Mumpung
besuk atau lusa kita insyaAllah akan rame-rame berqurban, coba kali ini
kita hayati maknanya – pelajaran apa yang sekiranya harus dapat kita
ambil dari Ibrahim ‘Alaih Salam dan putranya Ismail ‘Alaihi Salam dalam
membenarkan dan melaksanakan perintahNya tersebut. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar