Oleh: Muhaimin Iqbal
Potensi krisis itu begitu nyata sampai mulai bisa dikwantifisir magnitude-nya, bahkan kali ini sumber krisis itu bukan hanya satu tetapi tiga sekaligus. Krisis yang saya maksud adalah krisis daya beli yang juga berarti krisis kesejahteraan. Sedangkan sumber ancamannya dari tiga penjuru adalah perkembangan geopolitik global, perkembangan politik dalam negeri dan yang terakhir adalah kapasitas produksi pangan dalam negeri. Lantas apa yang harus kita lakukan agar kita bisa melalui krisis ini ?
Kekuatan-kekuatan
politik dan militer global yang semakin terpolarisasi antara lain oleh
krisisi-krisis di negeri Arab, secara langsung berdampak pada
fleksibilitas aliran perdagangan komoditi utama dunia. Ketika terjadi
ketegangan antara Amerika dan Rusia dalam menyikapi dukungan terhadap
Suriah misalnya, Rusia akan mengurangi atau bahkan menghentikan impor
gandum dari Amerika.
Untuk
memenuhi kebutuhannya, Rusia akan mengumpulkan gandum-gandum dari
negeri lain di luar Amerika. Dampaknya negeri-negeri yang selama ini
juga meng-ekspor gandumnya ke Indonesia, akan kekurangan supply. Hukum ekonominya adalah bila supply menurun, demand tetap apalagi meningkat – maka harga akan melonjak.
Indonesia
tentu tetap bisa impor gandum dari Amerika – yang ditinggalkan Rusia,
tetapi ketergantungan pada sedikit sumber ini juga bermasalah. Selain
posisi tawar menjadi rendah, juga bisa sewaktu-waktu kehilangan supply bila karena satu dan lain hal ada masalah atau keperluan lain dari negeri pengeskpor – ingat kejadian Huru Hara Tortilla di Meksiko !
Perkembangan
politik dalam negeri juga tidak nampak kondusif untuk perekonomian
kita. Kegaduhan-kegaduhan politik yang sudah bisa ditebak antara
parlemen dan eksekutif bahkan sudah mulai menghantam dua icon
perekonomian kita yaitu pasar modal dan nilai tukar Rupiah.
Perseteruan
era PEMILU Presiden yang berkelanjutan dikawatirkan akan terus
menghantui negeri ini dan belum kunjung terlihat bagaimana dan kapan
akan berakhirnya. Dampaknya investor akan tetap was-was dan Rupiah terus
melemah.
Di sektor riil, kapasitas produksi pangan Indonesia terganggu oleh musim kering yang panjang, hama penyakit yang meningkat di-trigger
oleh udara panas dan berkurangnya lahan produktif. Selama sepuluh tahun
antara 2003-2013 saja, telah terjadi alih fungsi lahan pertanian
sekitar 5 juta hektar.
Bila
disatukan tiga potensi ancaman tersebut terhadap daya beli kita
terhadap kebutuhan pokok, khusunya pangan – maka kita bisa melihat
sekarang realita krisis itu yang tanpa kita sadari kita sudah ujug-ujug berada di dalamnya.
Tahun
lalu Indonesia impor bahan pangan dengan nilai sekitar US$ 8.6 Milyar.
Dengan rata-rata nilai tukar Rupiah tahun lalu sebesar Rp 10,446,- -
maka nilai impor pangan kita tahun lalu sekitar Rp 90 trilyun.
Seandainya jumlah impor pangan kita dalam Dollar tetap saja, rata-rata
Rupiah yang sudah mengalami pelemahan
sekitar 13 % tahun ini, akan membuat Impor pangan tersebut melonjak di
atas Rp 100 trilyun. Artinya rakyat untuk bisa membayar pangan yang sama
perlu jumlah uang Rupiah yang jauh lebih banyak.
Padahal
bisa jadi penghasilan kita tidak bertambah setinggi itu, maka dampaknya
kita harus mengorbankan kebutuhan lainnya atau menurunkan kesejahteraan
kita.
Yang
menarik untuk menjadi pelajaran adalah adanya lonjakan impor pangan
untuk protein hewani yang berasal dari impor sapi hidup dan daging.
Krisis harga daging sapi tahun lalu, rupanya diatasi pemerintah dengan
melonggarkan keran impor.
Dampaknya
dapat kita lihat di angka-angka statistik yang dikeluarkan oleh BPS.
Bila 12 bulan tahun 2013 kita mengimpor sapi hidup senilai US$ 341 juta,
enam bulan (sampai Juni) tahun ini saja kita sudah mengimpor US$ 318
juta.
Untuk yang sudah berupa daging-pun tidak kalah buruknya, bila 12 bulan tahun 2013 kita mengimpor sekitar US$238 juta, enam bulan saja di tahun ini kita mengimpor daging senilai sekitar US$ 236 juta.
Lonjakan
impor daging bahkan terjadi untuk jenis daging yang di negeri asalnya
bernilai sangat rendah seperti jeroan, hati dan lidah. Enam bulan
pertama tahun ini kita mengimpor senilai kurang lebih US$ 41 juta untuk
daging jenis ini, padahal sepanjang tahun lalu kita hanya impor sekitar
US$ 27 juta.
Selain
kebutuhan protein dari daging yang difokuskan ke sapi tersebut, kita
juga impor jumbo untuk urusan karbohidrat dari biji-bijian utamanya
gandum. Impor biji-bijian kita tahun lalu sekitar US$ 3.6 milyar atau
sekitar 42 % dari seluruh impor pangan kita.
Ini
masih ditambah lagi sekitar US$ 205 juta yang diimpor dalam bentuk
tepung atau pati. Sehingga secara keseluruhan kita impor biji-bijian dan
produk turunannya (tepung) sekitar US$ 3.8 milyar atau 44 % dari impor pangan kita tahun lalu.
Bilai ini ditambahkan dengan impor buah kita yang sudah saya bahas sebelumnya dalam tulisan Jalan Kemenangan Para Petani,
maka praktis dari lima unsur makanan kita karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan mineral – hanya lemak (dari minyak) yang kita punya
keunggulannya di dalam negeri. Selebihnya kita diserbu oleh
produk-produk dari negeri lain.
Impor
ini sebenarnya juga tidak terlalu menjadi masalah bila kita memang
memiliki daya belinya. Masalahnya adalah justru terletak pada daya beli
yang terus menyusut secara cepat yang terakselerasi oleh tiga ancaman
tersebut di atas.
Lantas
apakah kita akan diam tidak bergerak dan pasrah dengan apa yang akan
kita alami ? Mestinya juga tidak. Justru sebaliknya adalah apabila kita
bisa mengubah ancaman ini menjadi peluang.
Ancaman
ini akan menjadi peluang manakala kita bisa memakmurkan negeri ini
sedemikian rupa sehingga produksi pangan kita – bukan hanya beras –
tetapi juga seluruh unsur-unsur utama pangan kita dari karbohidrat,
lemak, protein, vitamin dan mineral bisa kita produksi sendiri secara
cukup dan syukur-syukur lebih.
Dan
ini amat sangat dimungkinkan karena ini termasuk yang dijanjikan
olehNya untuk kita – asal kita bisa memenuhi syarat-syaratnya. Apa
syarat-syaratnya itu ? berikut adalah dua ayat yang saling menguatkan –
yang menjadi kabar baik bagi kita untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
kebutuhan kita lainnya.
“Dan
sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan(mendirikan/menegakkan)
Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari
Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari
bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan
alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS 5 :66)
Senada dengan ini adalah ayat :
“Jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)
Pasti
bukan kebetulan bila Allah menjanjikan kecukupan pangan, rezki dan
limpahan berkah itu kepada orang-orang yang beriman, bertakwa dan
menjalankan apa-apa yang ada di dalam kitabNya. Karena di didalam
kitabNyalah terdapat petunjuk beserta penjelasannya ( QS 2:185) untuk
segala hal yang menjadi urusan kehidupan kita (QS 16:89).
Tetapi
hanya orang beriman yang sampai derajat tanpa ragu (QS 49:15) – lah
yang bisa menerima petunjuk-petunjuk Al-Qur’an itu kemudian benar-benar
melaksanakannya tanpa terlalu banyak mempertanyakannya. Hanya orang yang
bertakwalah yang akan benar-benar menggunakan A-Qur’an sebagai petunjuk
dan pelajarannya (QS 3:138).
Maka
solusi krisis dari tiga penjuru itu sungguh-sungguh ada di depan mata
kita, tinggal kita mau menggunakannya atau tidak, semoga kita termasuk
yang percaya akan janjiNya sehingga kita-pun akan tunduk dan patuh
mengikuti petunjukNya semata agar dimudahkannya kita dalam urusan-urusan
kita ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar