Oleh: Muhaimin Iqbal
Dalam suatu arisan keluarga besar yang komplit, saya dikejutkan oleh kehadiran sejumlah ponakan laki-laki saya yang sangat tinggi-tinggi – di sekitar 185 cm-an. Ini mengejutkan karena data terakhir orang Indonesia menurut situsnya www.averageheight.co tinggi kita rata-rata hanya 158 cm atau 14 cm lebih rendah dari rata-rata tinggi laki-laki di seluruh dunia yang berada pada angka 172 cm. Menurut situs tersebut orang Indonesia memang yang paling pendek, sedangkan yang paling tinggi adalah orang Belanda yang mencapai rata-rata 183.8 cm. Tetapi fakta ini mestinya bisa diperbaiki hanya dalam satu generasi saja, bagaimana caranya ?
Ada ilmu yang mempelajari secara khusus segala aspek yang terkait dengan pertumbuhan fisik manusia, ilmu ini disebut Auxology atau juga disebut Auxanology. Ini adalah multidiscipline ilmu yang terkait dengan ilmu kesehatan secara umum, science, nutrition, genetic, anthropology, ergonomics , economics, sociology, public policy, public health, psychology dlsb.
Menurut
ilmu tersebut secara ringkas pertumbuhan fisik manusia dipengaruhi oleh
dua hal yaitu factor internal – yaitu genetics, dan factor external
seperti nutrisi, exercise, pemeliharaan kesehatan, ekonomi dlsb. Ilmu
ini bisa menjelaskan mengapa keluarga besar yang memiliki rata-rata
tinggi generasi sebelumnya hanya beberapa cm di atas rata-rata nasional
yang 158 cm, bisa melahirkan generasi berikutnya yang memiliki tinggi di atas tinggi rata-rata bangsa yang tertinggi di dunia.
Dengan
genetics yang sama, ponakan-ponakan saya tersebut tingginya sekitar 20
cm lebih tinggi dari rata-rata bapak-bapak mereka ! Faktor apa yang
paling dominan kiranya ? dugaan saya yang paling kuat adalah factor
nutrisi.
Generasi
kami dahulu, mengalami masa pertumbuhan di desa – yang konsumsi utama
makanannya adalah di karbohidrat. Konsumsi makanan yang berbasis protein
nabati apalagi hewani sangat kurang. Padahal konsumsi protein inilah yang berperan utama dalam pertumbuhan fisik manusia.
Generasi
anak-anak kami sudah tinggal di kota, yang konsumsi proteinnya
meningkat – jauh dibandingkan yang kami konsumsi dahulu di masa
pertumbuhan. Hal yang sama kemungkinan besar juga bisa Anda amati
terhadap anak-anak dan ponakan-ponakan Anda.
Tidak
sulit untuk menemukan anak-anak baru gede sekarang yang tingginya di
atas rata-rata penduduk dunia – yang detilnya bisa Anda pelajari di
situs yang saya quote tersebut. Anda bisa juga search dari berbagi
sumber lain, kemungkinan datanya tidak jauh berbeda karena ujung dari
sumber-sumber risetnya sebagian besar sama.
Sayangnya
adalah anak-anak generasi yang tinggi-tinggi tersebut belum merata di
seluruh negeri, sehingga ketika ditarik rata-rata nasionalnya –
rata-rata kita masih paling pendek di dunia. Lantas apa yang bisa kita
lakukan ? sepenting apakah sebenarnya tinggi badan rata-rata orang
Indonesia ini perlu didongkrak di generasi mendatang ?
Tinggi badan hanyalah salah satu symptoms atau gejala-gejala dari sejumlah masalah multi dimensi yang antara lain dirangkum dalam ilmu Auxology
tersebut di atas. Menjadi sangat penting untuk pertumbuhan generasi
mendatang karena symptom kurang tinggi tersebut bukan hanya melanda
rata-rata laki-laki Indonesia.
Ini ibarat penyakit, tetapi semuanya jelas. Gejalanya jelas yaitu kurang tinggi, penyebabnya jelas yaitu
diduga kuat kurang nutrisi khususnya protein dan solusinya-pun jelas
yaitu tinggal ditambah asupan protein yang mencukupi. Yang terakhir ini
jelas, tetapi tidak berarti mudah – karena sudah menjelang 70 tahun
negeri ini merdeka ternyata masalah ini belum teratasi !
Maka
saya menggunakan Auxology tersebut untuk mencoba menawarkan solusi ini.
Bahwa untuk mengatasi kekurangan protein yang menyebabkan kita kurang
tumbuh secara optimal tersebut harus diatasi dengan multidiscipline ilmu
termasuk namun tidak terbatas pada ilmu ekonomi, public policy,
sociology dlsb. Dan yang tidak kalah penting tentunya juga perbaikan
dari sisi keimanan dan ketakwaan masyarakat – karena inilah kunci dari
segala bentuk keberkahan atau kebaikan yang sangat banyak di muka bumi
ini.
Untuk
mudahnya dipahami bagaimana multidiscipline ilmu tersebut bekerja
bersama-sama mengatasi masalah tinggi badan yang merupakan symptoms dari
sejumlah penyakit/masalah tersebut, saya gunakan saja suatu studi kasus
dari exercise yang hari-hari ini sedang kami kerjakan bersama mitra-mitra kami.
Seperti dalam sebuah science fiction
dimana para astronom berburu planet yang menyerupai bumi untuk tinggal
manusia masa depan, kami sedang mencari satu pulau dari belasan ribu
pulau di Indonesia yang ideal untuk exercise praktek memakmurkan bumi
yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Karena markas kami –
startup center lokasinya di Depok, maka referensi ‘bumi’ yang kami gunakan adalah kota Depok.
Hasilnya
kami menemukan diantara belasan ribu pulau di Indonesia tersebut, ada
satu pulau yang mendekati sempurna untuk exercise ini. Ada pulau yang
luasannya mirip sekali dengan kota Depok yaitu di sekitar 200 km2,
indahnya lagi pulau ini juga berjarak tempuh perjalanan kurang dari 2
jam dari lapangan terbang internasional terdekat !
Yang
menjadikan pulau ini nyaris sempurna untuk latihan memakmurkan bumi
secara TSM adalah karena kondisi pulau tersebut saat ini. Dengan luasan
yang sama – kota Depok sudah dihuni lebih dari 1.7 juta jiwa, sementara
pulau tersebut baru dihuni oleh sekitar 17,000 keluarga dengan total
tidak lebih dari 50,000 jiwa.
Mengapa
begitu sedikit penghuni pulau tersebut saat ini padahal begitu dekat
dengan pulau yang sangat padat dan bahkan juga bandara internasional ?
Temuan kami sementara ini ada dua sebab utamanya yang sangat menarik,
pertama kondisi fisik pulau yang memang sangat gersang. Kedua kondisi
psikis masyarakat terdekat pulau, yaitu adanya mitos bahwa pulau
tersebut adalah pulau yang angker !
Maka
disinilah letak peran multidiscipline ilmu itu dibutuhkan. Di tengah
begitu kekurangan protein-nya kita di Indonesia – yang menyebabkan kita
13-14 cm lebih pendek dari rata-rata penduduk dunia, ada contoh potensi
solusi yang begitu dekat tetapi masih belum tergarap.
Dibutuhkan
kebijakan public dari pemerintah daerah setempat atau bahkan dari
pemerintah pusat – agar ada insentif bagi kita yang eager
untuk memakmurkan bumi yang gersang. Minimal kalau tidak diberi
insentif, tidak diurusi sekalipun tidak masalah – asal tidak ada yang ngrusuhi upaya-upaya semacam ini.
Dibutuhkan ilmu pertanian yang ultra modern – yaitu ilmu pertanian yang didasari petunjukNya – agar bumi yang gersang selama ini bisa segera menjadi ijo royo-royo, dalam kajian kami mestinya tidak butuh waktu tahunan untuk
ini – waktu seusia kedelai atau kacang tanah (3-4 bulan)- pun sudah
akan cukup untuk mulai menghijaukan bumi ini, bila segala resources yang dibutuhkan tersedia.
Dibutuhkan
pendidikan keimanan yang kuat dan mendasar, agar masyarakat tidak
dihantui oleh mitos yang tidak-tidak seperti bahwa suatu pulau itu
angker dan sejenisnya. Yang ditugasi Allah untuk menjadi khalifah atau
wakilNya di muka bumi dan untuk memakmurkannya adalah manusia, bukan
malaikat apalagi jin. Jadi kalau toh memang ada jin, dedemit, genderuwo
dan sebangsanya yang kini menghuni pulau tersebut – mereka tidak akan
kuasa mengganggu keberadaan manusia yang akan memakmurkan bumi ini –
bila manusianya adalah manusia-manusia yang beriman.
Kemudian tentu juga dibutuhkan segala macam tetek-bengek ilmu ekonomi untuk menggerakkan modal dan berbagai resources lainnya yang dibutuhkan untuk exercise besar seperti ini – maka inilah secara keseluruhan gambaran dari konsep Auxology tersebut.
Bila semuanya berjalan baik, model sekelas kota Depok tersebut tinggal di scale-up
ke area sekelas Jawa Barat – baru kemudian sekelas Indonesia. Dari
sinilah kita bisa melihat bahwa perubahan besar itu mestinya bisa
dilakukan dalam waktu yang cepat dan tidak perlu lama.
Uswatun Hasanah kita telah memberi contoh, kota Yathrib yang tenggelam dalam kegelapan sosial ekonomi dan berbagai kegelapan lainnya selama berabad-abad
– bisa dibalik 180 derajat dalam waktu kurang dari 10 tahun - menjadi
kota peradaban yang utuh dan menerangi ke seluruh jazirah, apa
rahasianya ? Rahasianya adalah ketika segala sesuatunya ditangani dengan
mengikuti petunjuk beserta penjelasan dan pembedanya (QS 2 :185).
Kita tidak bisa mengharapkan hasil yang berbeda – ujug-ujug
rata-rata tinggi badan kita setinggi orang-orang Belanda misalnya –
bila cara-cara memenuhi kebutuhan protein rakyat negeri ini sama dengan
cara yang kita tempuh selama hampir 70 tahun ini. Kita harus menempuh
cara yang berbeda untuk bisa memberikan hasil yang berbeda. Apalagi bila
cara yang berbeda ini adalah berasal dari petunjukNya, insyaAllah kita
akan bisa !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar