Oleh: Muhaimin Iqbal
Dalam dunia industri kita mengenal adanya standar industri, misalnya di Indonesia dikenal Standar Nasional Indonesia (SNI). Dari produk alam seperti air minum dan madu, sampai produk buatan seperti mur dan baut – semua ada standarnya. Bisa dibayangkan bila pembuat mur tidak membuatnya sesuai standar, maka mur tersebut tidak akan cocok dengan baut yang dibuat sesuai standar. Sesungguhnya ada standar yang lebih baik di seluruh bidang kehidupan kita, bila kita bisa penuhi standar terbaik tersebut – maka insyaAllah kita juga akan bisa cocok dengan kehidupan yang terbaik itu.
Saya
ambil contoh beberapa hal, misalnya untuk menjadi umat terbaik –
standarnya apa ? Standarnya adalah menyuruh ke yang ma’ruf, mencegah
yang mungkar dan dia orang beriman (QS 3:110). Minyak terbaik standarnya
apa ? Minyak dari pohon yang diberkahi, yang tumbuh tidak di barat atau
timur sesuatu, yang hampir-hampir bisa menerangi walau tidak disentuh
api (QS 24:35).
Contoh-contoh
tersebut akan dapat terus digali sampai di setiap bidang kehidupan.
Seperti mur dan baut standar, bila di satu bidang kehidupan sudah
memenuhi suatu standar – maka dia akan pas dipasangkan dengan bidang
lain yang standar pula. Bila yang satu saja tidak standar, pasti tidak
bisa pas dengan yang lain yang standar – apalagi kalau keduanya tidak
standar, maka dia tidak akan pas kemana-mana.
Seperti
juga mobil kita misalnya, dia akan awet bertahan lama bila semua spare
part-nya asli sesuai dengan standar pabrikannya. Demikian pula dengan
bumi ini, dia akan makmur semakmur-makmurnya bila manusia yang hidup di
dalamnya berperilaku sesuai dengan standar yang digariskan oleh Sang
Penciptanya.
Standar
orang beriman adalah beriman kepada Allah dan Rasulnya sampai pada
tingkat tanpa ada keraguan sedikitpun ( QS 49:15), standar orang
bertakwa adalah menggunakan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajarannya
dalam segala bidang kehidupan (QS 3:138).
Negeri
yang dipenuhi keberkahan dari langit dan dari bumi adalah negeri yang
penduduknya memenuhi standar keimanan dan ketakwaan (QS 7:96). Salah
satu indikator fisik negeri yang baik tersebut adalah negeri yang kiri
kanannya – memandang kemanapun – kebun ( QS 32:15).
Di
negeri yang diberkahi, tanaman-tanaman berbuah banyak dan rasanya enak
sehingga penduduknya bisa makan sesukanya (QS 2:58). Negeri yang
diberkahi ini ada yang sudah given
– ditentukan – seperti negeri di seputar masjidil Aqsha (QS 17:1), ada
yang bersyarat – yaitu negeri manapun bisa menjadi negeri yang diberkahi
bila penduduknya beriman dan bertakwa (QS 7:96).
Maka
dengan rangkaian ‘mur’ dan ‘baut’ yang semuanya standar tersebut, kita
juga harus bisa hidup dengan standar yang sama – bila kita ingin bisa
harmonis secara maksimal dengan daya dukung kehidupan di alam ini.
Bila
kita ingin rakyat negeri ini bisa berkecukupan dalam makanannya
misalnya, maka urut-urutan makanan yang harus kita perhatikan (pastinya
juga harus ditindak lanjuti dengan menanamnya) – pun sudah ada
standarnya yaitu di surat ‘Abasa 24-32. Bila bumi kita masih tandus –
mati sekalipun – standar menghidupkannya ada di surat Yaasiin 33.
Standar
hasil panenan biji-bijian yang baik dari aplikasi Surat ‘Abasa 27 dan
Surat Yaasiin 33 ini adalah satu butir benih yang ditanam menghasilkan
700 butir berikutnya (QS 2:261). Maka dari sinilah mestinya para sarjana pertanian belajar tentang standarnya.
Untuk
menanam padi satu hektar dibutuhkan benih 25 kg, maka bila nanti panen
hasil standar terbaiknya adalah 25 x 700 = 17,500 kg atau 17.5 ton. Kalau kita sekarang panen padi rata-ratanya baru 5 ton /ha, maka masih sangat banyak ruang untuk perbaikan.
Namun
kembali, perbaikan-perbaikannya harus sesuai dengan standar terbaiknya
yaitu keimanan dan ketakwaan. Karena yang dijanjikan keberkahan adalah
negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa, bukan hanya sekedar negeri
agraris dengan segala macam sarananya, negeri kepulauan dengan segala
macam kekayaan lautnya dlsb.
Selain dari Al-Qur’an, standar yang baik tersebut juga datang dari Uswatun Hasanah
kita. Misalnya berapa bagian dari hasil panenan kita yang kita sisihkan
untuk ditanam ? Standar terbaiknya adalah 1/3 berdasarkan hadits sahih
berikut :
“Dari
Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari
seorang laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara
dari awan :” Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara
jin atau manusia, tapi dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan
di ufuk langit, lantas menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam.
Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti air (dia
ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang
sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya.
Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai
Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab:
“Fulan- yaitu nama yang dia dengar di awan tadi”. Pemilik kebun
bertanya: “Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku
?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah
airnya. Suara itu menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu-. Apa yang
engkau lakukan terhadap kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila
kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan hasilnya untuk
bersedekah sepertiganya. Aku dan keluargaku memakan daripadanya
sepertiganya, dan yang sepertiganya kukembalikan ke sini (sebagai modal
penanamannya)”. (HR. Muslim).
Bila prinsip 1/3 ini kita terapkan, negeri Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofuur dan negeri yang berkecukupan pangan mesikpun negeri lain paceklik – itu bisa dicapai dalam kurun waktu yang hanya sekitar 7 tahun (QS 12:47).
Ini
bahkan bisa dibuktikan dengan hitungan matematis dari realita lapangan
yang benar-benar bisa kita lakukan. Sebagai contoh untuk menanam kedelai
– sebagi sumber protein yang paling feasible untuk negeri ini – per hektarnya dibutuhkan bibit sebanyak 50 kg.
Team
ahli kita mentargetkan panenan 3 ton per hektar per panen (3 bulan),
secara sangat konservatif saya membuat hitungan separuhnya saja 1.5 ton
per panen. Bila mengikuti standar di hadits tersebut di atas maka dari 1.5 ton produksi dapat diambil 1/3nya atau 500 kg untuk benih.
Karena
untuk menanam satu hektar berikutnya hanya dibutuhkan 50 kg benih, maka
500 kg benih dari panenan sebelumnya tersebut dapat untuk menanam di
ladang yang luasnya 10 hektar – 10 kali luasan lahan pertama. Penanaman
berikutnya bisa 100 hektar, berikutnya lagi bisa 1000 hektar dst.
Maka
dengan matematika ini, berawal dengan menanam benih di satu hektar saja
– bila terus mengikuti petunjuk tersebut hanya diperlukan 7 periode
tanam untuk bisa menanam kedelai di 10 juta hektar !.
Berapa
lama 7 periode tanam tersebut ? tergantung kesiapan lahan. Bila bisa
ditanami 3 kali setahun maka hanya dibutuhkan waktu dua tahun lebih
sedikit. Bila dua kali setahun perlu waktu 3.5 tahun, dan paling
konservatif-nya bila hanya sekali tanam dalam satu tahun – maka waktu
yang dibutuhkan adalah 7 tahun pas !
Pertanyaannya
adalah lahan siapa 10 juta hektar yang hendak ditanami tersebut ?
justru disinilah challenge-nya. Menurut datanya BPS, sampai lima tahun
lalu (2010) ada sekitar 12.4 juta hektar lahan di Indonesia yang menurut
istilah mereka “sementara tidak diusahakan” – bahasa jelasnya ya
nganggur ! Inipun belum termasuk Maluku dan Papua.
Bayangkan
sekarang bila lahan-lahan ngganggur tersebut diolah seperti standar
Al-Qur’an untuk urutan jenis tanaman-tanamannya, juga dengan hadits
tersebut di atas untuk porsi hasil panen yang ditanam kembali, maka
hanya butuh waktu 7 tahun kira-kira negeri ini untuk bisa memenuhi
standar negeri yang baik – negeri Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur – negeri ijo royo-royo kemanapun kita memandang.
Dan
untuk ini tidak dibutuhkan orang dengan kecerdasan yang luar biasa,
tidak juga dibutuhkan orang yang memiliki keberanian atau nekad luar
biasa. Yang dibutuhkan hanyalah orang-orang standar dengan perilaku
standar, cuma standarnya saja yang perlu diluruskan yaitu standar yang
baik menurut Al-Qur’an dan Sunnah ! InsyaAllah kita bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar