Manusia Standar

Kamis, 29 Januari 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Dalam dunia industri kita mengenal adanya standar industri, misalnya di Indonesia dikenal Standar Nasional Indonesia (SNI). Dari produk alam seperti air  minum dan madu, sampai produk buatan seperti mur dan baut – semua ada standarnya. Bisa dibayangkan bila pembuat mur tidak membuatnya sesuai standar, maka mur tersebut tidak akan cocok dengan baut yang dibuat sesuai standar. Sesungguhnya ada standar yang lebih baik di seluruh bidang kehidupan kita, bila kita bisa penuhi standar terbaik tersebut – maka insyaAllah kita juga akan bisa cocok dengan kehidupan yang terbaik itu.


Saya ambil contoh beberapa hal, misalnya untuk menjadi umat terbaik – standarnya apa ? Standarnya adalah menyuruh ke yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan dia orang beriman (QS 3:110). Minyak terbaik standarnya apa ? Minyak dari pohon yang diberkahi, yang tumbuh tidak di barat atau timur sesuatu, yang hampir-hampir bisa menerangi walau tidak disentuh api (QS 24:35).

Contoh-contoh tersebut akan dapat terus digali sampai di setiap bidang kehidupan. Seperti mur dan baut standar, bila di satu bidang kehidupan sudah memenuhi suatu standar – maka dia akan pas dipasangkan dengan bidang lain yang standar pula. Bila yang satu saja tidak standar, pasti tidak bisa pas dengan yang lain yang standar – apalagi kalau keduanya tidak standar, maka dia tidak akan pas kemana-mana.

Seperti juga mobil kita misalnya, dia akan awet bertahan lama bila semua spare part-nya asli sesuai dengan standar pabrikannya. Demikian pula dengan bumi ini, dia akan makmur semakmur-makmurnya bila manusia yang hidup di dalamnya berperilaku sesuai dengan standar yang digariskan oleh Sang Penciptanya.

Standar orang beriman adalah beriman kepada Allah dan Rasulnya sampai pada tingkat tanpa ada keraguan sedikitpun ( QS 49:15), standar orang bertakwa adalah menggunakan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajarannya dalam segala bidang kehidupan (QS 3:138).

Negeri yang dipenuhi keberkahan dari langit dan dari bumi adalah negeri yang penduduknya memenuhi standar keimanan dan ketakwaan (QS 7:96). Salah satu indikator fisik negeri yang baik tersebut adalah negeri yang kiri kanannya – memandang kemanapun – kebun ( QS 32:15).

Di negeri yang diberkahi, tanaman-tanaman berbuah banyak dan rasanya enak sehingga penduduknya bisa makan sesukanya (QS 2:58). Negeri yang diberkahi ini ada yang sudah given – ditentukan – seperti negeri di seputar masjidil Aqsha (QS 17:1), ada yang bersyarat – yaitu negeri manapun bisa menjadi negeri yang diberkahi bila penduduknya beriman dan bertakwa (QS 7:96).

Maka dengan rangkaian ‘mur’ dan ‘baut’ yang semuanya standar tersebut, kita juga harus bisa hidup dengan standar yang sama – bila kita ingin bisa harmonis secara maksimal dengan daya dukung kehidupan di alam ini.

Bila kita ingin rakyat negeri ini bisa berkecukupan dalam makanannya misalnya, maka urut-urutan makanan yang harus kita perhatikan  (pastinya juga harus ditindak lanjuti dengan menanamnya) – pun sudah ada standarnya yaitu di surat ‘Abasa 24-32. Bila bumi kita masih tandus – mati sekalipun – standar menghidupkannya ada di surat Yaasiin 33.

Standar hasil panenan biji-bijian yang baik dari aplikasi Surat ‘Abasa 27 dan Surat Yaasiin 33 ini adalah satu butir benih yang ditanam menghasilkan 700 butir berikutnya (QS 2:261).  Maka dari sinilah mestinya para sarjana pertanian belajar tentang standarnya.

Untuk menanam padi satu hektar dibutuhkan benih 25 kg, maka bila nanti panen hasil standar terbaiknya adalah 25 x 700 = 17,500 kg atau 17.5 ton.  Kalau kita sekarang panen padi rata-ratanya baru 5 ton /ha, maka masih sangat banyak ruang untuk perbaikan.

Namun kembali, perbaikan-perbaikannya harus sesuai dengan standar terbaiknya yaitu keimanan dan ketakwaan. Karena yang dijanjikan keberkahan adalah negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa, bukan hanya sekedar negeri agraris dengan segala macam sarananya, negeri kepulauan dengan segala macam kekayaan lautnya dlsb.

Selain dari Al-Qur’an, standar yang baik tersebut juga datang dari Uswatun Hasanah kita. Misalnya berapa bagian dari hasil panenan kita yang kita sisihkan untuk ditanam ? Standar terbaiknya adalah 1/3 berdasarkan hadits sahih berikut :

Dari Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari seorang laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara dari awan :” Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara jin atau manusia, tapi dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan di ufuk langit, lantas menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti air (dia ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya. Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab: “Fulan- yaitu nama yang dia dengar di awan tadi”. Pemilik kebun bertanya: “Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku ?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah airnya. Suara itu menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu-. Apa yang engkau lakukan terhadap kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan hasilnya untuk bersedekah sepertiganya. Aku dan keluargaku memakan daripadanya sepertiganya, dan yang sepertiganya kukembalikan ke sini (sebagai modal penanamannya)”. (HR. Muslim).

Bila prinsip 1/3 ini kita terapkan, negeri Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofuur dan negeri yang berkecukupan pangan mesikpun negeri lain paceklik – itu bisa dicapai dalam kurun waktu yang hanya sekitar 7 tahun (QS 12:47).

Ini bahkan bisa dibuktikan dengan hitungan matematis dari realita lapangan yang benar-benar bisa kita lakukan. Sebagai contoh untuk menanam kedelai – sebagi sumber protein yang paling feasible untuk negeri ini – per hektarnya dibutuhkan bibit sebanyak 50 kg.

Team ahli kita mentargetkan panenan 3 ton per hektar per panen (3 bulan), secara sangat konservatif saya membuat hitungan separuhnya saja 1.5 ton per panen.  Bila mengikuti standar di hadits tersebut di atas maka dari 1.5 ton produksi dapat diambil 1/3nya atau 500 kg untuk benih.

Karena untuk menanam satu hektar berikutnya hanya dibutuhkan 50 kg benih, maka 500 kg benih dari panenan sebelumnya tersebut dapat untuk menanam di ladang yang luasnya 10 hektar – 10 kali luasan lahan pertama. Penanaman berikutnya bisa 100 hektar, berikutnya lagi bisa 1000 hektar dst.

Maka dengan matematika ini, berawal dengan menanam benih di satu hektar saja – bila terus mengikuti petunjuk tersebut hanya diperlukan 7 periode tanam untuk bisa menanam kedelai di 10 juta hektar !.

Berapa lama 7 periode tanam tersebut ? tergantung kesiapan lahan. Bila bisa ditanami 3 kali setahun maka hanya dibutuhkan waktu dua tahun lebih sedikit. Bila dua kali setahun perlu waktu 3.5 tahun, dan paling konservatif-nya bila hanya sekali tanam dalam satu tahun – maka waktu yang dibutuhkan adalah 7 tahun pas !

Pertanyaannya adalah lahan siapa 10 juta hektar yang hendak ditanami tersebut ? justru disinilah challenge-nya. Menurut datanya BPS, sampai lima tahun lalu (2010) ada sekitar 12.4 juta hektar lahan di Indonesia yang menurut istilah mereka “sementara tidak diusahakan” – bahasa jelasnya ya nganggur ! Inipun belum termasuk Maluku dan Papua.

Bayangkan sekarang bila lahan-lahan ngganggur tersebut diolah seperti standar Al-Qur’an untuk urutan jenis tanaman-tanamannya, juga dengan hadits tersebut di atas untuk porsi hasil panen yang ditanam kembali, maka hanya butuh waktu 7 tahun kira-kira negeri ini untuk bisa memenuhi standar negeri yang baik – negeri Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur – negeri ijo royo-royo kemanapun kita memandang.

Dan untuk ini tidak dibutuhkan orang dengan kecerdasan yang luar biasa, tidak juga dibutuhkan orang yang memiliki keberanian atau nekad luar biasa. Yang dibutuhkan hanyalah orang-orang standar dengan perilaku standar, cuma standarnya saja yang perlu diluruskan yaitu standar yang baik menurut Al-Qur’an dan Sunnah ! InsyaAllah kita bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar