Oleh: Muhaimin Iqbal
Beberapa tahun lalu saya sering menulis tentang currency war, tetapi saat itu perang mata uang itu masih terasa jauh karena pemain-pemainnya bukan di sekitar kita. Saat itu yang berperang umumnya adalah Dollar Amerika, Yen, Yuan, Euro, Ruble dlsb. yang rata-rata negeri yang jauh dari kita. Hari-hari ini perang ini menjadi semakin dekat karena negeri jiran kita – Singapore – yang selama ini mata uangnya paling kuat, ikut-ikutan membuat kebijakan monetary easing yang menurunkan daya beli uangnya.
Pekan
ini Singapore mengumumkan kebijakannya tersebut dengan alasan harga
minyak dunia yang terus menurun, ekonomi yang masih cenderung lesu dan
daya beli konsumen yang masih sulit di dongkrak. Walhasil negeri itu
berusaha mendorong inflasi – menurunkan daya beli uangnya – agar
ekonominya dapat terus berputar.
Di hari keputusan tersebut diambil, nilai mata uang Singapore langsung turun seperti dapat kita lihat pada grafik di bawah.
Singapore
adalah salah satu mitra utama kita dalam perdagangan, juga bagian dari
negeri ASEAN. Maka keterlibatan Singapore dalam menurunkan daya beli
uangnya menyusul negeri-negeri lain yang sudah melakukannya lebih dahulu
di awal tahun ini sepeti Canada, Denmark, Uni Eropa dan Jepang –
kemungkinan besarnya juga akan merembet ke negeri-negeri tetangganya –
tidak terkecuali kita di Indonesia.
Melemahnya kembali Rupiah beberapa hari terakhir setelah sebelumnya sempat menguat, bisa jadi juga dampak dari monetary easing
yang dilakukan oleh otoritas moneter Singapore tersebut. Dibawah adalah
grafik pelemahan Rupiah beberapa hari pasca pengumuman Singapore
tersebut.
Lantas apakah adanya currency war
tersebut – dideklarasikan ataupun tidak, diakui keberadaannya ataupun
tidak – berdampak pada kita sebagai individu ? tentu saja berdampak
terutama bagi kalangan pekerja yang berpenghasilan tetap dalam satuan
mata uang kertas.
Ketika pendapatan dalam satuan mata uang kertas tetap – kecuali pada saat adanya kenaikan gaji – bila nilai tukar uang
itu terus menurun, daya beli masyarakat pekerja pasti juga terus
menurun. Dalam jangka pendek masyarakat pekerja tidak mudah merespon
masalah ini karena umumnya kenaikan gajinya berkala tahunan ataupun
waktu kenaikan jenjang karir.
Dampak ini berbeda dengan para pedagang benda riil, utamanya pendapatan mereka mengikuti turnover barang dagangannya. Penurunan nilai mata uang kertas dari penjualan barang dagangannya bisa ter-offset oleh naiknya turnover
yang disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang. Para pedagang juga
relatif bisa lebih cepat merespon perubahan, misalnya dengan menjual
produk lebih banyak, lebih bervariasi, merespon dengan perubahan harga
dlsb.
Bila
dalam sisi pendapatan posisinya berbeda antara masyarakat pegawai dan
masyarakat pedagang, tidak demikian dengan posisi asset-nya. Bila asset
berupa tabungan, dana pensiun, asuransi dlsb tersimpan dalam satuan mata
uang kertas yang sama – maka keduanya akan sama-sama mengalami
penurunan seiring dengan penurunan daya beli mata uang yang
bersangkutan.
Dalam
situasi inilah seperti kisah Resi Bisma yang takdirnya mati ditangan
wanita (Dewi Srikandi) – dalam tulisan saya lima tahun lalu yang saya link-kan tersebut di atas – emas atau Dinar akan keluar sebagai pemenang dari Baratayudha-nya currency war.
Masyarakat
yang tidak memahami situasi seperti ini bisa keliru dalam mengambil
sikap, misalnya menjual emas/Dinarnya mumpung harga tinggi. Padahal
harga tinggi ini justru mengindikasikan daya beli uang kertas yang lagi
merosot – oleh Baratayudha currency war yang begitu kompleks. Justru saat seperti inilah safe haven dibutuhkan.
Kita tidak bisa tahu uang kertas apa yang
akan bisa selamat di medan perang Kurusetra ini, tetapi emas atau Dinar
– mata uang yang disebutkan namanya di dalam Al-Qur’an – insyaAllah
akan tetap bisa menjadi alat tukar (medium of exchange), satuan nilai
(unit of account) dan penyimpan nilai (store of value) – mata uang
hakiki hingga akhir jaman. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar