Oleh: Muhaimin Iqbal
Sebenarnya ada petunjuk yang sangat detil dan jelas untuk setiap problem kehidupan kita, hanya saja kita sering abai terhadap petunjuk tersebut. Dalam hal pangan misalnya, negeri agraris yang sudah hampir berusia 70 tahun ini masih jungkir-balik untuk sekedar memenuhi kebutuhannya sendiri saja yang belum juga kesampaian – apalagi membantu orang lain yang negerinya gersang. Lantas bagaimana seharusnya kebutuhan mendasar kita dalam hal pangan ini dipenuhi ?
Kita
yakin petunjuk itu ada di Al-Qur’an hanya tinggal pertanyaannya adalah
bagian yang mananya yang bisa menuntun negeri ini untuk swasembada
pangan. Untuk ini memang dibutuhkan utamanya ahli-ahli Al-Qur’an,
kemudian juga orang yang bisa mengimplementasikannya di lapangan.
Dalam
Al-Qur’an misalnya ketika Allah mengurutkan sesuatu yang sejenis atau
sekelompok, maka urutan itu bukan sekedar urutan yang kebetulan.
Urut-urutan itu menunjukkan tingkat kepentingan, keutamaan atau
prioritas.
Misalnya ayat tentang sekelompok penerima zakat : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk
jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (QS 9:60)
Para ulama sepakat bahwa top priority
untuk penerima zakat adalah orang-orang fakir selagi ada orang fakir
tersebut, kemudian orang miskin dan baru yang juga berhak berikutnya.
Nah sekarang bagaimana kalau kaidah yang sama ini kita terapkan untuk
solusi swasembada pangan kita ?
Ketika Allah memerintahkan kita untuk memperhatikan makanan kita (QS 80 : 24-32), urut-urutannya sebagai berikut : biji-bijian ; anggur dan tanaman bergizi; zaitun dan kurma, tanaman kebun, buah-buahan dan rerumputan.
Hal
yang kurang lebih sama juga ketika kita diajari Allah untuk
menghidupkan bumi yang mati (QS 36 : 33-35) dengan urutan sebagi berikut
: biji-bijian yang dimakan, kurma dan zaitun.
Kita
tahu bahwa biji-bijian yang disebut dalam dua surat tersebut adalah
untuk biji-bijian yang dimakan karena di surat ‘Abasa memang konteksnya
makanan, sedangkan di surat Yaasiin secara spesifik menyebutkan ‘…dari biji-bijian itu mereka makan’.
Dari
dua surat tersebut Allah memudahkan kita agar tidak salah tanam, karena
di ayat lain Allah juga memberi tahu kita bahwa ada dua jenis
biji-bijian. Bij-bijian yang dimakan disebut ‘habba’, sedangkan
biji-bijian yang tidak dimakan disebut ‘an-nawa’.
“Sesungguhnya
Allah menumbuhkan biji-bijian yang dimakan (padi-padian, kacang dlsb)
dan biji-bijian yang tidak dimakan (biji kurma – tidak dimakan tetapi
untuk ditumbuhkan)…” (QS 5:95)
Nah sekarang bagaimana kita meng-aplikasikan petunjuk tersebut di lapangan ? Top priority
kita dalam mengelola lahan pertanian di negeri ini – agar bisa makan
secara cukup – mestinya mengikuti urut-urutan dalam petunjuk tersebut.
Kita
harus mengutamakan tanaman biji-bijian yang dimakan, baik itu dari
jenis padi-padian maupun dari jenis kacang-kacangan. Kedua jenis tanaman
ini (padi-padian dan kacang-kacangan) telah disusun sangat Indah oleh
Allah dalam memenuhi kebutuhan utama kita. Perhatikan pada table di
bawah.
Padi-padian
secara umum mengisi kebutuhan kita akan karbohidrat, sedangkan protein
maupun lemak kurang tersedia secara cukup pada padi-padian ini. Jadi
kita tidak bisa hanya fokus pada tanaman padi-padian saja, musti
melengkapi dengan tanaman kacang-kacangan.
Tanaman
kacang-kacangan telah dipersiapkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan
kita akan protein (seperti kedelai yang berprotein sangat tinggi) dan
lemak yang baik (seperti kacang tanah yang memiliki kandungan
lemak/minyak yang sangat baik).
Sekarang
kita bisa melihat bahwa dengan kombinasi padi-padian dan
kacang-kacangan, maka kebutuhan unsur-unsur utama dari makanan kita
terpenuhi dengan sangat baik.
Lantas
apa yang terjadi di lapangan ? Tanaman padi di Indonesia ada sekitar
13.8 juta hektar, asumsinya per hektar bisa memproduksi 5 ton saja –
maka kita bisa memproduksi sekitar 69 juta ton – jumlah yang kurang
lebih cukup untuk menutupi kebutuhan kita akan karbohidrat.
Tetapi
bagaimana dengan kebutuhan protein dan lemak yang baik ?, Berdasarkan
datanya BPS sampai tahun 2013 Indonesia hanya punya tanaman kedelai
seluas kurang lebih 551,000 ha dengan produksi rata-rata sekitar 1.42
ton/ha atau total produksi hanya sekitar 780,000 ton – jumlah yang
sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan protein 250 juta penduduk.
Kacang
tanah kurang lebih juga demikian, tahun 2013 kita hanya memiliki
tanaman sekitar 520,000 ha dan hasil rata-rata 1.35 ton/ha atau sekitar
700,000 ton kacang tanah. Lagi-lagi ini adalah jumlah yang sangat tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan lemak yang baik dari 250 juta penduduk.
Untuk kebutuhan lemak ini memang relatif ada solusinya – meskipun belum
sebaik lemak dari biji-bijian, yaitu lemak dari minyak kelapa sawit.
Sekarang
kita bisa melihat lebih jelas peta problem mendasar kita yaitu potensi
krisis pangan yang khususnya untuk pemenuhan kebutuhan akan protein. Mau
dipenuhi dari mana ?, dari protein hewani ? produksi protein hewani
lebih banyak lagi membutuhkan resources berupa lahan untuk produksi pakannya dan air.
Mau
impor saja ? ada segudang masalah dengan ketergantungan impor ini.
Pertama kontinyuitas supply-nya tidak terjamin, maka demikian pula
dengan harganya. Kedua kita tidak tahu persis apa yang ada dalam
biji-bijian impor tersebut, bahkan untuk kedelai datanya sangat kuat
bahwa yang kita impor adalah kedelai GMO – yang bahanya terus perlu
diwaspadai. Ketiga ya kita tidak memiliki tingkat keamanan pangan- food security – yang dibutuhkan bila kita terus bergantung pada impor.
Maka
solusi terbaiknya ya kita harus mulai memprioritaskan alokasi
penggunaan lahan seperti di dalam ayat-ayat tersebut di atas, fokuskan
pada biji-bijian yang dimakan (padi maupun kedelai dan kacang tanah) ,
baru kemudian untuk tanaman-tanaman yang lain.
Dalam hal biji-bijian pun challenge-nya
bukan pada produksi beras karena untuk ini sudah seharusnya kita
mandiri, challenge yang sesungguhnya adalah pada biji-bijian penghasil
protein tinggi seperti kedelai. Maka challenge ini juga menjadi peluang
terbesar kita untuk mata pencaharian, investasi sekaligus berkhidmat
untuk memenuhi kebutuhan sesame. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar