Oleh: Muhaimin Iqbal
Dari APBN 2015 yang sebesar Rp 2,039 trilyun (dua kuadriliun tiga puluh sembilan trilyun), Departemen Pertanian hanya memiliki anggaran belanja sekitar Rp 15.9 trilyun atau kurang dari 0.8 % - bandingkan misalnya dengan Departemen Pendidikan yang memiliki anggran belanja sampai Rp 409 trilyun atau lebih dari 20%. Asumsinya bila keberhasilan program pendidikan dan pertanian berbanding lurus dengan anggarannya masing-masing, kita akan melahirkan generasi yang cerdas tetapi tidak bisa makan atau kurang gizi – apa mungkin ?
Kalau
sektor pertanian tidak mendapatkan pembiayaan yang proper dari
pemerintah, lantas dari mana sumber pendanaan modalnya ? dari bank yang
mengumpulkan duit masyarakat kah ?
Ternyata
tidak juga, sampai Februari tahun lalu (2013) ketika perbankan sudah
mengeluarkan pembiayaan sampai Rp 2.7 trilyun – pembiayaan sektor
pertanian hanya sekitar 5.5 %-nya saja – itupun mayoritasnya tersedot
oleh perkebunan kelapa sawit, karena bank hanya mau yang aman dengan
model pemasukan yang jelas seperti perkebunan kelapa sawit ini.
Eksekutif
perbankan syariah yang menemui saya di kebun beberapa waktu lalu justru
mengabarkan hal yang lebih memilukan lagi untuk sekor pertanian, dia
hanya diijinkan mengeluarkan pembiayaan sektor pertanian maksimal 3 %
dari pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank-nya.
Jadi
dari mana sektor pertanian akan tumbuh ? dari pemerintah tidak dan dari
perbankan-pun tidak. Lantas dari mana ? sebelum saya jawab pertanyaan
ini, kita akan diskusikan dahulu mengapa sektor pertanian menjadi
seperti anak tiri bagi pemerintah dan anak tiri pula bagi perbankan.
Siapa yang berkepentingan untuk ini ?
Indonesia
adalah negeri besar dalam jumlah penduduk, terbesar keempat setelah
China, India dan Amerika. Berdasarkan datanya PBB tahun 2013 lalu
penduduk kita adalah sekitar 252 juta jiwa. Asumsinya rata-rata penduduk
makan US$ 2 per hari saja, ada kebutuhan pangan US$ 504 juta per hari
atau US$ 183,960 juta per tahun atau sekitar Rp 2,207 kuadriliun atau
lebih dari 1000 kali APBN 2015 kita.
Bila
dari dari datanya World Bank tahun lalu, GDP Indonesia adalah US$
868,346 juta – maka untuk urusan makan saja mewakili lebih dari
seperlimanya atau tepatnya 21.5 % dari GDP kita.
Jadi
bisa dibayangkan ukuran pasar negeri ini yang terkait dengan kebutuhan
makan. Bila kita tidak bisa memenuhinya sendiri – maka akan ada yang
diuntungkan dari defisit dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan ini. Siapa
mereka ini ?
Itulah
mereka-mereka yang selama ini mengekspor hasil pertaniannya ke negeri
kita berupa daging, susu, gandum, kedelai, jagung sampai buah-buahan dan
bahkan juga beras yang menjadi kebutuhan makanan pokok kita.
Konglomerasi
penghasil pangan dunia bekerjasama dengan berbagai institusi-institusi
global secara formal maupun tidak formal, secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan akan terus berusaha menjaga ‘pasar’ mereka agar
tetap bisa menyerap produksi hasil pertaniannya.
Yang secara formal pernah terbukti secara tertulis adalah ketika ‘mereka’ memasukkan kepentingan pasar mereka ini dalam 50 butir letter of intent dari pemerintah Indonesia ke IMF Januari 1998. Inilah pintu masuk formal mereka untuk mengobok-obok urusan makanan kita ini.
“Over
the past two months, it has become evident that the drought afflicting
the country is the most severe in half a century, and requires emergency
measures. Accordingly, to
ensure that adequate food supplies will be available to the population
at reasonable prices, the government has decided to go beyond the
original program strategy, and include agricultural goods in the general
program of tariff reduction (leaving motor vehicles as the only
exception). As an immediate measure, tariffs on all food items have been
cut to a maximum of 5 percent, while local content regulations on dairy
products have been abolished, both effective February 1, 1998,. At the
same time, tariff rates on non-food agricultural products will be
reduced by 5 percentage points, and will gradually be reduced to a
maximum of 10 percent by 2003.
At
the same time, as another major step in assuring a level playing field,
on February 1, 1998, all import restrictions on all new and used ships
were also abolished. All other remaining quantitative import
restrictions, other than those which may be justified for health,
safety, environment and security reasons, and other nontariff barriers
that protect domestic production, will be completely phased out by the
end of the program period.” Di ambil dari situs resmi IMF, poin 35 dan 36 LOI.
Dengan kepentingan yang begitu besar, apakah mereka akan membiarkan kita swasembada pangan ? saya pikir kok tidak.
Lantas
bagaimana mereka menjaga kepentingan pasarnya ini dua windu pasca LOI
pada krisis 1998 tersebut ? Mereka tentu masih punya akses ke perbankan
kita – maka munculnya pembatasan pembiayaan di sektor pertanian dugaan
saya kok bukan suatu kebetulan.
Demikian
pula mereka punya akses ke pemerintahan – karena sampai APBN 2015 kita
masih membayar cicilan hutang saja sampai lebih dari Rp 66.5 trilyun –
hutang kemana ini ? ya kemana lagi kalau bukan ke mereka-mereka juga
ujungnya.
Psikologi
orang berhutang adalah tunduk pada yang menghutangi – maka kepada kita
diajarkan untuk berlindang dari lilitan hutang agar tidak takut/tunduk
pada manusia.
Swasembada pangan adalah terkait dengan kemerdekaan hakiki, merdeka secara fisik, ekonomi dan pikiran. Secara de jure
kita sudah 69 tahun merdeka, tetapi secara ekonomi dan pikiran kita
masih terkooptasi oleh penjajahan baru berupa penjajahan ekonomi dan
pemikiran.
Lantas
dengan dana dari pemerintah yang hanya 0.8 % dari APBN dan dari
perbankan yang hanya sekitar 3-5 % dari pembiayaannya , apakah ekonomi
pertanian kita akan bisa mengantarkan kita kepada swasembada pangan ?
nampaknya jalannya memang bukan yang ini.
Masyarakatlah
yang sesungguhnya memiliki uang, masyarakat yang (masih) memiliki
lahan, dan tidak kalah pentingnya adalah masyarakat pula yang masih
memiliki pemikiran. Sejauh masyarakat masih memiliki kebebasan berpikir,
masyarakat masih memiliki akal yang merdeka – maka insyaAllah kita akan
tetap bisa bener-benar merdeka termasuk diantaranya merdeka dalam hal
pangan atau swasembada pangan ini. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar