Oleh: Muhaimin Iqbal
Menurut data CIA, umat Islam di Indonesia saat ini secara jumlah masih berada pada angka 87.2 %. Namun dalam kekuatan ekonomi, sangat bisa jadi kita sudah menjadi ‘minoritas’ di negeri ini. Hal ini dapat kita rasakan betul ketika kita sedang berada di pusat-pusat bisnis di kota besar seperti Jakarta. Bila ada tamu negara yang datang ke negeri ini, sejak turun pesawat, sampai masuk kota, Jl. Sudirman, Thamrin dan kemudian Istana – dia tidak menyaksikan adanya masjid di jalan-jalan utama yang dilaluinya tersebut.
Hal
ini juga berlaku bagi kita yang tidak bekerja di kantoran di pusat kota
Jakarta, tidak mudah untuk menemukan tempat berhenti yang enak untuk
sholat – bila lagi ada urusan di pusat kota.
Jum’at
pekan lalu saya mengalami ini, ada urusan di pusat kota dan selesai
nanggung jam 10 siang hari Jum’at. Saya pikir akan sampai di Depok
sebelum sholat Jum’at untuk bisa sholat di Masjid komplek.
Ternyata
jalanan macet luar biasa, sejak di jalan Thamrin, Sudirman dan bahkan
jalan tol di Gatot Subroto. Rata-rata perkantoran sebenarnya punya
tempat sholat Jum’at, tetapi pada umumnya di design hanya cukup untuk
memfasilitasi para karyawan di gedungnya masing-masing. Untuk masuk
numpang sholat di gedung-gedung tersebut, nyari parkirnya saja sudah
setengah mati.
Alhamdulillah
di Gatot Subroto masih ada masjid di pinggir jalan yang lumayan besar,
tetapi lagi-lagi – perjuangan tersendiri untuk bisa memperoleh parkir di
Masjid tersebut pada hari Jum’at.
Saya
mutuskan untuk masuk tol dan mengejar untuk sampai At Tien yang lebih
bersahabat dari sisi parkir, tetapi kemacetan menghadang sejak menjelang
keluar pintu Taman Mini. Yang paling memungkinkan berikutnya adalah
sholat Jum’at di rest area menjelang Cibubur, Alhamdulillah masih mengejar untuk bisa sholat Jum’at di rest area tersebut.
Bayangkan
sekarang orang-orang yang bermacet ria di jalan-jalan tersebut. Karena
87.2 % penduduk negeri ini adalah Muslim, maka mayoritas yang macet di
jalan pada jam sholat Jum’at tersebut pastinya juga adalah Muslim.
Sangat bisa jadi mereka juga sangat ingin mengejar sholat Jum’at di
tengah kesibukan urusannya, tetapi berapa banyak yang akhirnya tidak
bisa mendapatkan tempat parkir dan kemudian juga ketinggalan sholatnya.
Bayangkan
sekarang kehidupan keseharian karyawan umumnya di kantor-kantor di
Jakarta. Jam kantor selesai rata-rata jam 5, dan kebanyakan langsung
pulang pada jam tersebut. Hampir pasti magrib mereka masih di jalan, dan
bahkan kemungkinan besarnya Isya-pun masih di Jalan.
Mayoritasnya
muslim dan sebagian besarnya pasti ingin bisa sholat tepat waktu secara
khusu’, tetapi di mana mereka bisa melakukan ini ? jalan-jalan utama
kita tidak bersahabat – untuk bisa sekedar parkir kemudian sholat.
Tidak
hanya di kota besar seperti Jakarta, di pinggiran kotanya seperti
Depok-pun demikian. Di Jalan utamanya kota Depok – yaitu jalan Margonda,
tidak Anda jumpai ada Masjid yang Anda mudah parkir kemudian sholat di
dalamnya. Yang paling mungkin adalah mampir ke Mall, kemudian mencari
pojok mall tersebut yang digunakan untuk Musholla ala kadarnya.
Saya
membayangkan alangkah indahnya kalau ada Masjid sebesar At Tien –
lengkap dengan halaman parkir yang memadai, tetapi lokasinya di kanan
dan kiri Jalan Thamrin, di kanan dan kiri Jalan Sudirman begitu
seterusnya sehingga negeri yang mayoritas mulim ini bisa melayani
kebutuhan rakyatnya untuk bisa beribadah dengan baik.
Tentu
ini tidak mudah karena kavling-kavling di jalan utama sudah dimiliki
para konglomerat , tetapi pemerintah mestinya bisa membantu. Pembayar
pajak mayoritas kan muslim juga, apa salahnya bila beberapa puluh
trilyun diantaranya dipakai untuk membebaskan lahan dan membangun
Masjid-Masjid di jalan-jalan utama.
Daya
tawar Muslim-pun besar khususnya pada musim pemilu dan pilkada, tinggal
mencantumkan syarat pada calon yang didukungnya – harus memperhatikan
kebutuhan muslim untuk bisa beribadah secara kongkrit. Pilkada DKI yang
akan datang misalnya, pemilih muslim mensyaratkan dibangunnya
Masjid-Masjid yang memadai tempat sholat dan parkirnya di kanan dan kiri
setiap jalan utama Jakarta.
Pilkada
Depok juga demikian, saya akan mau ikut menggerakkan komunitas saya
untuk calon yang berjanji bahwa dalam 5 tahun kepemimpinannya minimal
akan membangun masjid yang nyaman dengan tempat parkirnya di kanan-kiri
jalan Margonda dan kanan– kiri Jalan Juanda – yang sekarang semakin rame
dan macet bersamaan dengan dibukanya tol baru Cijago.
Anda
dapat lakukan hal yang sama di daerah Anda masing-masing, agar Muslim
ini tidak hanya dirayu untuk memilih pasangan calon tertentu di musim
Pemilu dan Pilkada tetapi setelah itu dilupakan – tidak ada program
konkrit yang berpihak kepada kebutuhan Muslim.
Bila plan A yaitu mengharapkan para pemimpin nasional maupun kepala daerah
untuk memperhatikan kebutuhan Muslim ini tidak bisa jalan, mungkin ada
hikmahnya juga. Karena anggaran pemerintah utamanya adalah dari pajak
dan dari obligasi pemerintah. Untuk pajak kebanyakan orang kurang rela
membayarnya, jadi mungkin bukan sumber yang baik untuk membangun masjid.
Obligasi apalagi, dia pinjaman yang mengandung riba – masa untuk
membangun masjid ?
Maka
Plan B-lah yang paling memungkinkan, yaitu menggerakkan sumber dana
yang sama dengan sumber dana yang digunakan untuk membangun
Masjid-Masjid dari dahulu hingga sekarang – yaitu dana wakaf.
Kita
perlu lebih proaktif dan kreatif menggerakkan sumber-sumber kekuatan
umat ini agar Muslim yang secara jumlah masih mayoritas ini, tidak
menjadi semakin minoritas dari sisi kekuatan riilnya. Tidak adanya
Masjid yang layak singgah untuk para musafir di jalan-jalan utama
kota-kota besar Indonesia tersebut, bisa jadi hanyalah puncak gunung es –
dari masalah yang lebih besar dari ini.
Dari
kunjungan ceramah saya ke suatu daerah dua pekan lalu, saya terkejut
mendengar dari pejabat setempat bahwa ada pengusaha kaya di daerah
tersebut yang memiliki kelolaan hutan 800,000 hektar. Tahukah Anda
seberapa luas 800,000 hektar ini ? luas wilayah Depok yang dihuni 1.8
juta jiwa hanya 200 km2 atau 20,000 hektar. Artinya wilayah yang dikuasai oleh pengusaha tersebut adalah 40 kali luas Depok !
Lebih dari itu, saya juga mendengar langsung dari seorang mantan menteri yang menuturkan bahwa ada lho pengusaha Indonesia yang menguasai lahan di negeri ini seluas kerajaan Inggris !
Kami
berusaha membangkitkan kembali kekuatan wakaf ini dengan gerakan Waqf
Indonesia atau waqf.id , hanya saja karena kekuatan kami sendiri yang
serba terbatas – kami mengundang teman-teman yang mau menyumbangkan
waktunya untuk merintis gerakan ini.
Untuk
sementara saat ini yang kami perlukan adalah anak-anak muda yang
kreatif, berlatar belakang IT diutamakan atau paling tidak familiar
dengan pengelolaan web – untuk membantu kami mengelola web yang hampir
jadi – untuk mempromosikan gerakan Waqf Indonesia ini.
Kita
ingin anak cucu kita bisa merasakan kembali nuansa nikmatnya Masjid –
meskipun mereka berkarir di pusat-pusat kota. Ini diperlukan gerakan
besar dan ini baru puncak gunung es-nya. Bila kita bisa menghadirkan
Masjid di pusat-pusat kota, sangat bisa jadi kita juga bisa kembali
menguasai sumber-sumber kekuatan ekonomi lainnya seperti pasar, hutan
dlsb. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar