Oleh: Muhaimin Iqbal
Sejak saya mengangkat tema prinsip 1/3 hampir tujuh tahun lalu, banyak saya menjumpai orang-orang yang berusaha menerapkannya. Namu lebih banyak lagi yang mentertawakannya dengan phrase yang kurang lebih “seratus persennya saja belum cukup, apalagi bila dikurangi 1/3-nya untuk infaq”. Maka melalui tulisan ini saya ingin mendekatinya dengan cara yang sangat mungkin dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Saya menggunakan pendekatan yang di dunia professional dikenal dengan istilah Pro Bono.
Pro Bono adalah kependekan dari bahasa latin Pro Bono Publico
yang artinya kurang lebih pekerjaan professional yang dilakukan dengan
sukarela, tanpa bayaran atau dengan bayaran dibawah standard profesi
tersebut. Yang memulai memasyarakatkan umumnya adalah para lawyer, namun
belakangan diikuti pula oleh dokter, arsitek, konsultan dlsb.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak para professional yang lain lagi untuk juga mau bekerja secara Pro Bono, yaitu para professional penjualan. Well,
tidak harus Anda yang sudah professional di bidang penjualan ini –
justru kita ingin mengajak yang awam sekalipun untuk menjadi para
penjual yang professional.
Mengapa
kemampuan menjual ini sangat penting untuk dikuasai (kembali ) oleh
umat, karena Islam dahulu turun dikalangan para pedagang di Mekkah.
Antara lain karena profesinya ini pula mereka ringan kaki ketika
diperintahkan untuk berhijrah. Bayangkan kalau perintah hijrah turun
kepada kami para petani, atau kepada Anda para pegawai – berat bukan
untuk melaksanakannya ?, akan nunggu panen, perlu ijin atasan dlsb !
Demikian
pula Islam dibawa ke Nusantara ini oleh para pedagang. Begitu kuatnya
perdagangan Islam ini sampai tercatat dalam sejarah ketika di abad 18,
VOC yang berbahasa belanda dan bertulisan latin – mendapatkan ijin
mengeluarkan uang untuk Jawa Besar dari Mataram yang berbahasa dan
bertulisan jawa – uang itupun dibuat berbahasa arab dan ditulis dengan tulisan arab yang berbunyi Derham Min Kumpeni Welandawi , yang artinya kurang lebih Dirham dari Kumpeni untuk Jawa Besar.
Ketika
negeri ini sudah hampir dua abad kemudian terjajah oleh Belanda, awal
perlawanan juga datang kembali dari para pedagang Islam yang bergabung
dalam Syarikat Dagang Islam.
Dengan
rangkaian sejarah sejak Islam turun hingga kebangkitan awal gerakan
kemerdekaan kita itulah, maka kini kita juga ingin bangkit kembali
berjaya dengan memulai membangkitkan jiwa berdagang kita – agar kita
tidak terus menjadi minoritas di kala jumlah yang masih mayoritas.
Bagaimana
kita akan membangkitkan kembali jiwa berdagang kaum muslimin ini secara
terstruktur, sistematis dan massif ? yang kami lakukan adalah dengan
membentuk Masyarakat Penjual, namun karena kita dari awal ingin berbeda
dengan Masyarakat Penjual lainnya yang murni untuk kepentingan komersial
– maka Masyarakat yang kami bentuk tersebut kita beri nama Masyarakat
Penjualan dan Berbagi – atau bahasa kerennya Sale and Share Society,
siapa tahu kelak akan mendunia Insyaallah.
Society
(Masyarakat) ini agak berbeda dengan Community (Komunitas), karena di
Society ada standar tertentu bagi para anggotanya. Maka di Sale and
Share Society ini standar itu adalah professionalism dalam bidang
penjualan yang akan terus diasah melalui program Continuing Professional Development (CPD), terus diasah pula kerelaannya untuk berbagi dengan berbagai aktivitas yang nyata di lapangan.
Untuk awalnya exercise nyata bagi Sale and Share program ini
akan kami beri contoh pada penyebar luasan kurma di negeri ini. Mengapa
kurma ? karena ini produk yang sederhana sehingga mudah untuk dijadikan
proses pembelajaran.
Kedua
kita bisa belajar dari bagaimana negeri ini mulai makan mie instan.
Bahannya impor, belum ada tanda-tanda produksi dalam negeri, kandungan
gizinya minim tetapi bisa begitu massif di masyarakat – hingga seolah
tiada rumah tanpa mie instan, tiada bantuan sosial yang tidak melibatkan
mie instan dst.
Diajari
para pengiklan untuk makan mie instan, tidak sampai setengah abad –
kita sudah serta merta menjadi bangsa pemakan mie instan. Kok bisa ?
karena para pemasarnya mereka memiliki segala yang dibutuhkannya untuk
membuat mie instan menyebar ke seluruh pelosok tanah air – begitu pula
kampanyenya melalui televisi-televisi , radio dan papan reklame.
Nah
kita diajari uswatun hasanah kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam melalui hadits yang sahih untuk membiasakan makan kurma tujuh
butir setiap pagi hari agar racun dan sihir tidak merasuki tubuh kita.
Kita diajari pula oleh beliau untuk selalu ada kurma di rumah karena
rumah yang ada kurmanya tidak akan kelaparan, siapa yang mempraktekkan
ajaran beliau ini di negeri yang mayoritas muslim ini ? sangat minim,
pasti amat sangat jauh dari yang selalu sedia mie instan di rumahnya !
Lebih
dari itu kita diajari oleh Allah dalam Al-Qur’an melalui pengucapan
Malaikat Jibril kepada Siti Maryam di puncak kegalauannya : “… fakulii wasyrabii waqarrii ‘aina… makanlah minumlah dan berbahagialah…”,
apa yang kita lakukan ketika kita lagi galau, kehilangan semangat dan
motivasi hidup ? makan kurmakah ? saya rasa sangat jarang yang sekedar
mau mencoba menerapkannya.
Ajaran yang begitu Indah dari Sang Maha Pencipta dan contoh terbaik kita – uswatun hasanah, namun kita tidak jalankan di lapangan – mengapa ? karena kita belum berusaha menjalin
infrastruktur penyebar luasannya. Kita tidak punya kebunnya, pabriknya
dan segala dana untuk kampanye-nya. Namun ini semua tidak menjadi
keharusan di era teknologi informasi dan social media sekarang ini.
Maka
melalui gerakan inilah yang nantinya solusi berbasis Al-Qur’an dan
hadits-hadits yang sahih itu bisa diterapkan secara massif di
masyarakat. Contoh konkrit ini akan menjadi exercise untuk pengamalan ayat dan hadits-hadits tersebut di atas termasuk hadits 1/3 yang kita eager
untuk mengamalkannya – tetapi selama ini belum tahu bagaimana
bentuknya, melalui program inilah kita belajar bersama untuk
melakukannya.
Sambil
menunggu kurma yang kita tanam rame-rame berbuah pada waktunya kelak,
tidak masalah sementara kita pasarkan kurma impor dahulu – sehingga pada
waktunya kita panen – kita sudah punya pasarnya. Bila ini tidak kita
lakukan, yang sebaliknya akan terjadi – yaitu pada saat panen belum ada
pasar.
Inti
dari exercise perdana dalam Sale and Share ini adalah setiap kita
menjual 10 kurma, tujuh butir dihargai penuh – karena diharapkan para
pembelinya bisa mengamalkan hadits tentang tujuh butir kurma tersebut di
atas. Yang 3 butir dijual separuh harga, dengan target untuk
diinfaqkan. Infaq 3 butir tersebut adalah patungan antara pembeli – yang
membeli separuh harga, dan seluruh jajaran tenaga kerja yang terlibat
sejak produksi pengemasan sampai penjualan – yang menggratiskan tenaga
kerjanya atau Pro Bono !
Bayangkan
kalau system ini bekerja, Anda akan terbiasa bekerja penuh 100 %,
tetapi yang 30 %-nya Anda niatkan untuk orang lain yang membutuhkannya.
Bayangkan bila teknik Sale and Share ini bisa mewabah bukan hanya untuk
jualan kurma, tetapi jualan segala macam kebutuhan lainnya – termasuk
jualan property ! maka niat kita untuk bisa membangun masjid-masjid yang
layak di setiap kanan dan kiri jalan-jalan utama di kota-kota besar dan
kecil Indonesia – insyaAllah akan ada jalannya untuk terkabul.
Perjalanan
ribuan mile, harus dimulai pula dari satu dua langkah awal – maka
inilah salah satu dari langkah awal tersebut. Bagi Anda yang ingin
bergabung di Sale and Share Society, yang dimulai dari program seven
dates atau tujuh kurma ini – Anda sudah bisa mendaftar langsung melalui form yang ada di link ini, atau melalui menu registrasi di www.7kurma.com . Peluncurannya insyaAllah di bulan Mei - sebelum Ramadhan 1436 H - dan hanya yang mendaftar yang diundang. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar