Oleh: Muhaimin Iqbal
Beberapa tahun lalu Chinese Academy of Science mengadakan workshop menarik di Beijing, judulnya adalah Workshop on Agriculture Culture and Sustainable Development in Asia. Yang menarik bukan workshopnya sendiri, tetapi ada subject khusus yang menghadirkan pembicara seorang professor Sejarah Ekonomi dari University of Toronto - Canada. Apa menariknya ? Sang professor yang sudah sepuh sekali ini diundang dari tempat yang sangat jauh khusus untuk membahas sejarah inovasi pertanian di dunia Islam, bagaimana terjadinya dan mengapa inovasi tersebut berhenti !
Professor tersebut adalah Andrew M. Watson – yang memang sangat menguasai sejarah pertanian Islam -
karena dialah yang lebih dari 30 tahun sebelumnya menerbitkan buku
dengan judul : “Agricultural Innovation in the Early Islamic World , The
diffusion of crops and farming techniques, 700-1100” (Cambridge
University Press, New York 1983). Angka 700-1100 adalah menunjukkan
rentang angka tahun yang dikajinya.
Jadi
sang professor tersebut memang sangat fasih menguasai sejarah kemajuan
inovasi pertanian Islam dalam rentang waktu yang sangat lama yaitu
selama lebih dari empat abad antara awal abad ke 8 Masehi (abad 2 H)
sampai awal abad 12 Masehi (6 H).
Sang
professor-pun mengakui bahwa di rentang waktu yang sangat panjang
tersebut, memang pertanian Islam-lah yang maju. Dia mencatat misalnya,
di masa sebelum Islam, pertanian bangsa Romawi, Byzantium dlsb. masih
sangatlah sederhana. Paling banter lahan hanya dipakai sekali dalam satu
tahun, dan lebih seringnya hanya sekali dalam dua tahun.
Petani-petani
dalam wilayah Romawi enggan menguasai lahan karena pajak tanah yang
tinggi – terlepas apakah tanah menghasilkan ataupun tidak, bahkan mereka
banyak yang lebih suka hidup tanpa peradaban – berpindah-pindah,
berburu, memetik hasil hutan – juga antara lain karena pajak tanah yang
tinggi ini.
Ketika
Islam mulai memperluas wilayahnya ke barat dan ke timur, terbentanglah
wilayah dari Asia Tenggara sampai Afrika Utara dan bahkan melalui
Spanyol sampai ke sebagian Eropa, sejak saat itulah perlakuan terhadap
pemilik tanah menjadi sangat berbeda. Mereka tidak lagi terkena pajak
atas tanah, tetapi hanya terkena kalau tanah tersebut menghasilkan –
yaitu berupa zakat pertanian.
Lebih
dari itu kepemilikan tanah terjamin, bahkan sampai ke anak cucu karena
adanya hukum waris yang melindunginya. Dengan system kepemilikan dan
pajak yang sangat berbeda inilah maka di negeri yang sudah masuk dalam
kekuasaan Islam, rakyat bersemangat mengolah lahan dan bertani.
Semangat
ini juga menular kepada kaum pedagang yang menempuh perjalanan jauh,
mereka menjadi gemar membawa ‘oleh-oleh’ berupa aneka bibit tanaman yang
aneh-aneh yang sebelumnya tidak dikenal di daerah mereka. Misalnya
pedagang yang sampai India dan Asia Tenggara , mereka membawa bibit beras dan bahkan tebu sampai ke negeri Magribi – Maroko, juga sampai ke Spanyol dan Eropa lainnya.
Karena
padi dan tebu biasa tumbuh di daerah yang banyak hujannya,
tanaman-tanaman ini membutuhkan air yang banyak – yang tidak mudah
tersedia di negeri-negeri barunya. Apa yang terjadi ? bukannya kendala
ini menghentikan niat mereka – malah sebaliknya mereka menemukan
berbagai cara untuk membangun system pengairan yang canggih di jaman itu
!
Itulah
sebabnya mengapa tidak mengherankan ketika Ibnu Awwam menulis Kitab
Al-Filaha pada awal abad 12 (6 Masehi)– yang merupakan kitab paling
lengkap yang mendokumentasikan praktek pertanian sejak empat abad
sebelumnya – antara lain juga menjelaskan tata cara menanam tebu, padi
dlsb.
Ketika
inovasi-inovasi muslim yang agung ini menjadi referensi dan minat
tersendiri bagi kalangan ilmuwan abad terakhir seperti Proferssor Watson
dan Chinese Academy of Science tersebut, akan sangat mengherankan bila
kita umat Islam sendiri justru tidak tergerak untuk menghidupkan kembali
kejayaan Islam antara lain melalui dunia pertanian ini.
Maka
dari sinilah kita sekarang ingin memulai, sebagaimana kaidah yang
diikuti para ulama dahulu – yaitu memulai dari yang diakhiri. Kita
tinggal meneruskan di jaman ini, pencapaian-pencapaian ulama-ulama
sebelumnya yang telah begitu komprehensif mengembangkan pertanian yang
sangat modern untuk jamannya.
Bahkan semua istilah keren yang kini digandrungi oleh banyak petani modern seperti permaculture,
organic farming, natural farming, sustainable agriculture dlsb.
sesungguhnya hanyalah baru sebagian kecil dari Islamic Agriculture yang
meliputi aspek yang sangat luas dari dunia pertanian.
Tetapi masalahnya adalah dari mana kita akan memulai membangun kembali system
pertanian Islam ini sekarang ?, lha wong kitab-kitab karya ulma-ulama
terdahulu-pun sudah berserakan – sangat sedikit yang tersisa dan lebih
sedikit lagi yang kita kuasai.
Namun
alhamdulillah bermula dari yang serba sedikit tersebut, insyaAllah akan
bisa kita rekonstruksi kembali kejayaan pertanian Islam ini oleh umat
ini sendiri. Agar tidak menjadi ironi bila yang mereknostruksi-nya
justru orang lain seperti professor Watson dan Chinese Academy of
Science tersebut di atas.
Untuk
mudahnya kita mulai, dan memudahkan orang lain untuk memahami sehingga
juga bisa membantu – maka rekonstruksi system pertanian Islam itu saya
visualisasikan dalam kerangka bangunan 3 D disamping. Saya sederhanakan
bentuknya menjadi tenda supaya tidak terlalu njlimet.
Fondasi adalah yang menentukan kekokohan
suatu bangunan, dan dari fondasi inilah system pertanian Islam memang
secara fundamental berbeda dengan system yang di luar Islam. Fondasi
pertanian Islam adalah Iman, Takwa, Tawakkal, Sholat, Taubat dan Infaq.
Al-Qur’an
adalah kitab yang sangat lengkap, petunjuk dan jawaban untuk seluruh
persoalan manusia (QS 16:89) – maka di bidang pertanian-pun petunjukNya
itu sangat lengkap dan detil. Bila kita hayati ketika kita membacanya,
insyaAllah kita akan menemukan begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengkaitkan langsung ataupun tidak langsung antara dunia pertanian dengan fondasi-nya tersebut.
Kita butuh fondasi iman dan takwa karena tanpa iman
dan takwa ini, kita tidak akan bisa menerima petunjuk utama kita yaitu
Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an adalah petunjuk yang hanya berlaku bagi
orang yang beriman dan bertakwa (QS 2 :2-4), sehingga janji Allah untuk
keberkahan dari bumi dan langit juga hanya berlaku bagi orang yang
beriman dan bertakwa ini (QS 7:96). Dengan keimanan dan ketakwaan inilah
kita akan bisa mematuhi segala perintahNya dan menjauhi segala
larangan-laranganNya.
Kita
butuh tawakkal kepada Allah karena peran kita dalam menumbuhkan tanaman
sebenarnya hanya sangat-sangat sedikit. Hanya melubangi tanah kemudian
meletakkan benih, sedangkan yang bisa menumbuhkan hanyalah Allah semata
(QS 6:95). Dan ketika kita bertawakkal, maka Allah akan mencukupi
kebutuhan kita (QS 65:3).
Ketika
kita sombong dan merasa semua adalah karya kita – karena ilmu kita,
maka kita diingatkan oleh Allah atas kebun yang sangat indah tetapi
dengan mudah dihancurkan oleh Allah karena kesombongan pemiliknya.
Pemiliknya lupa tidak mengucapkan Masya Allah. La Quwwata Illa Billah – ketika memasuki kebunnya ( QS 18 : 39).
Karena
manusia itu sangat lemah juga ketika dia bertani, dia perlu secara
terus-menerus memohon pertolongan kepada Sang Maha Kuasa. Karena kasih
sayangNya-lah bahkan kita diajari cara memohon pertolongan kepadaNya
itu. Seperti apa caranya ? petunjukNya adalah agar kita memohon
pertolongan itu melalui sabar dan sholat. Tetapi sholat ini sungguh
sangat berat bagi kebanyakan manusia, maka kita juga diberi petunjuk
detilnya agar tidak merasa berat ketika sholat – yaitu dengan cara
sholat yang khusu’.
Sholat
khusu’ juga sangat-sangat sulit bagi kebanyakan manusia, maka kita
diberi tahu cara yang lebih detil lagi untuk bisa khusu’ yaitu dengan
meyakini akan berjumpa denganNya. Petunjuk untuk minta tolong melalui
sholat yang khusu’, serta cara untuk bisa mencapai kekhusu’an ini ada
dalam dua ayat yang berurutan berikut :
“Dan
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan)
sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu’,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS 2:45-46).
Karena
bagaimanapun kita tidak terbebas dari dosa-dosa; maka sebagai petani
kita juga harus sering-sering bertaubat dan terus-menerus memohon
ampunannya. Dengan ini pula akan berlaku janji Allah di ayat berikut :
“Maka
aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya
Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu
dengan lebat, dan membanyakkan
harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan
(pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS 71 :10-12).
InsyaAllah
kita bisa berhasil dengan itu, tetapi bila berhasil panen – jangan lupa
bukan semua hasil panenan itu untuk kita. Ada hak orang lain, minimal
pada yang wajib yaitu zakatnya (5 % atau 10 % tergantung system
pengairannya) – apabila dilebihkan sampai 1/3 akan sangat baik, akan
mengundang awan khusus untuk kita.
“Dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama
(rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS 6 :141)
Setelah
fondasi terbangun sangat kokoh dengan Iman, Takwa, Tawakkal, Sholat,
Taubat dan Infaq ; maka kita bisa mulai mengisi bangunan di atasnya.
Yang pertama adalah ilmu – seperti ilmu-ilmu tentang pertanian yang
sudah ditulis dengan sangat detil oleh ulama-ulama terdahulu yang
kemudian dikumpulkan oleh Ibnu Awwam tersebut diatas, tugas kita
kemudian tinggalah menyempurnakan saja – tetapi tentu tidak boleh
merusaknya atau membangun bangunan yang tidak sesuai dengan fondasinya.
Yang
berikutnya adalah tentang amal, karena ilmu saja tidak akan
menyelesaikan masalah yang dihadapi umat. Ilmu perlu terus diamalkan
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di lapangan, dengan
pengamalan tersebutlah ilmu diambil manfaatnya dan dapat terus
disempurnakan.
Ketika
ilmu semakin mendalam diamalkan dengan ketakwaan, akan terbangun
kearifan-kearifan yang spesifik dengan bidang amal tersebut. Di bidang
pertanian misalnya, akan muncul kearifan-kearifan tentang apa yang
seharusnya ditanam, dimana, kapan, bagaimana caranya dlsb.
Darimana
datangnya kearifan-kearifan pertanian itu ? dari Allah untuk orang yang
bertani dengan ketakwaannya sebagaimana janjinya “…bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajari kamu…” (QS 2:282). Dan ketika Allah memberi kita kearifan-kearifan atau hikmah ini, itulah kebaikan yang sangat banyak untuk kita.
“Allah
menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As
Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang
dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).” (QS 2:269)
Bayangkan
kalau dunia pertanian kita dipenuhi dengan hikmah – yang berasal dari
kepahaman yang dalam dari Al-Qur’an dan hadits, insyaAllah tidak akan
ada lagi problem kerawanan pangan dan sejenisnya di negeri ini. Tetapi
berdasarkan ayat tersebut hikmah
ini tidak datang dari sumber lain selain ketakwaan kita dalam mengikuti
petunjuk-petunjukNya, maka dari situlah kita perlu merekonstruksi –
membangun ulang – dunia pertanian kita, agar kita kembali kejalanNya ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar