Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika umat ini tidak mengurusi sendiri kebutuhan-kebutuhan hidupnya, segala urusannya diurusi oleh orang lain menurut apa yang mereka anggap baik untuk mereka. Tidak masalah bagi mereka ketika makanan sumber protein nabati utama kita itu tidak lagi thoyyib, tidak masalah pula bagi mereka bila daging sembelihan yang dijual untuk kita adalah dari binatang jalalah. Demikian pula dengan obat-obatan yang teramat sedikit yang bisa disertifikasi halal. Kerusakan di bidang makanan dan obat ini sebenarnya baru sedikit saja dari kerusakan di darat dan laut sebagai akibat perbuatan tangan manusia, tetapi dampaknya yang sangat besar.
Makanan yang halalan thoyyibah adalah prasyarat dari amal shaleh sebagaimana perintah kepada para Rasul : “Hai
para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal
yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS 23:51).
Perintah yang sama juga diberikan kepada orang-orang yang beriman sebagai prasyarat untuk ketakwaannya : “Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.” (QS 5:88)
Jadi
bila makanan yang halal dan baik adalah prasyarat untuk beramal shaleh
dan bertakwa, bukankan ini urgent bagi umat ini untuk bisa swasembada
dalam hal urusan pangannya ?
Selain
halal dan thoyyib, makanan bagi umat ini juga harus diproduksi secara
mencukupi. Lagi-lagi kecukupan ini juga terkait langsung dengan ketaatan
kita kepada syariatNya. Ibnu Katsir mengungkapkan hal ini secara detil
ketika beliau mentafsirkan ayat berikut :
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS 30:41)
Bahwa
kerusakan di bumi yang antara lain diindikasikan dengan menurunnya
hasil pertanian adalah karena dosa-dosa manusia. Ketika manusia tidak
menyadari dosa-dosanya, maka dosa yang satu akan bertambah dengan dosa
yang lain dan kerusakan yang satu menghasilkan kerusakan berikutnya.
Ketika
hasil panenan menurun, umumnya orang mengira bahwa ini karena faktor
tanah – maka kemudian rame-rame melakukan pemupukan dengan berbagai
pupuk kimia. Dampaknya bumi semakin rusak dan hasilnya semakin jatuh
dalam jangka panjang.
Atau
orang mengira karena faktor bibit, maka dicarilah bibit-bibit yang
nampak unggul bahkan kalau perlu dari hasil rekayasa genetika – Genetically Modified Organism (GMO). Ketika
manusia mulai mengkutak-katik gen dari tanaman dan bahkan sampai
memandulkannya, maka yang terjadi adalah krisis pangan yang lebih dasyat
lagi karena bukan hanya produksi menjadi terbatas secara global –
penguasaannya pun menjadi jatuh ke tangan sgelintir kapitalis yang mampu
saja.
Sebaliknya
bila manusia bertobat dari dosa-dosanya, bumi akan dibukakan kembali
keberkahannya oleh Allah sebagaimana janjiNya di surat Nuh berikut : “maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta
dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan
(pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS 71 : 10-12)
Ketika
Isa Ibnu Maryam turun ke bumi, salah satu tugasnya adalah menghancurkan
Dajjal yang merupakan the ultimate evil – puncak segala kejahatan
termasuk segenap pengikutnya, dan pada jamannya pula Ya’juz dan Ja’juz
berhasil ditumpas sampai habis.
Saat
itulah diperintahkan olehNya agar bumi mengeluarkan seluruh
keberkahaannya, satu buah delima bisa dimakan cukup oleh sekelompok
orang – bahkan sekelompok orang ini bisa cukup berteduh di bawah
pohonnya. Seekor unta hamil-pun cukup untuk memberikan susunya pada
sekelompok orang. Ini semua karena stelah Isa Ibnu Maryam turun ke bumi,
beliau juga menegakkan syariat yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Cerita
keberkahan bumi yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam mentafsirkan
ayat tersebut di atas tidak hanya mengungkap sesuatu yang masih akan
terjadi (future), tetapi juga sesuatu yang sudah terjadi di masa lampu.
Diungkapkan misalnya oleh Imam Ahmad bin Hambal yang mencatat riwayat dari Abu Qadham : “Pada
masa Ziyad atau Ibnu Ziyad, seorang menemukan bungkusan kain yang
berisi biji-biji gandum yang ukurannya sebesar biji kurma. Padanya
tertulis : “ Ini tumbuh pada saat keadilan berlaku””.
Ayat-ayatNya
jelas dan penjelasan-penjelasan yang dibuat oleh ulama sekaliber Ibnu
Katsir-pun sangat detil, bahwa kunci dari keberkahan hasil bumi ini
adalah ketika dosa-dosa ditinggalkan, ketaatan dan keadilan ditegakkan.
Baru setelah itulah segala ikhtiar manusia bisa memberikan hasil yang
maksimal.
Itulah sebabnya, mengapa melalui tulisan saya yang sebelumnya – Action Plan , Islamic Agriculture
- dalam bertani-pun kita harus kembali mengikuti syariatNya. Bila
tidak, itulah yang terjadi hingga saat ini – hasil bumi yang terus
menurun dari sisi kwalitas maupun kwantitas. Ketika diusahakan
diperbaiki tanpa kembali ke syariatNya, yang terjadi justru kerusakan
demi kerusakan berikutnya. Maka inilah waktunya untuk kita segera
kembali ke jalanNya, insyaAllah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar