Oleh: Muhaimin Iqbal
Sekitar 3 tahun lalu, McKinsey Global Institute (MGI) mengeluarkan report untuk Indonesia. Report tersebut pernah saya ulas melalui tulisan “Redenominasi Untuk Apa ?” (25/01/2013). Salah satu yang menantang dalam report tersebut adalah peluang untuk Indonesia menjadi kekuatan ekonomi no 7 terbesar di dunia tahun 2030 – saat report tersebut ditulis Indonesia masih di urutan 16. Kini setelah 3 tahun berlalu, apakah kita menuju seperti yang diprediksi MGI tersebut ? ataukah malah menjauh ? Apa yang bisa kita lakukan ?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini menggelitik think-thank di Startup Center untuk menjadi
salah satu project kajiannya. Karena kajian MGI tersebut adalah dari
kacamata orang lain melihat Indonesia, maka data-data yang kami gunakan
untuk memonitor perkembangannya juga dari data bagaimana orang lain
melihat Indonesia.
Salah
satu yang kami pandang cukup reliable karena terus diupdate secara
tahunan adalah laporan tentang Global Competitiveness Index yang
dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF). Pada saat laporan MGI
tersebut dikeluarkan, laporan WEF 2012/2013 menyebutkan ranking Indonesia dalam hal competitiveness-nya berada pada urutan 50 dari 144 Negara.
Laporan
WEF terakhir 2015/2016 memang menyebutkan adanya perbaikan untuk
Indonesia, yaitu kini berada pada urutan 37 dari 140 negara. Namun kita
tidak bisa buru-buru berbangga karena seluruh negara tetangga pesaing
utama kita di era MEA juga mengalami perbaikan.
Singapore
yang dari urutan no 2 (2012/2013) tetap berada di no 2 (2015/2016),
Malaysia dari 25 ke 18, Thailand dari 38 ke 32. Di belakang kita ada
Phillipine dari 65 ke 47 dan Vietnam dari 73 ke 56. Walhasil perbaikan
relatif Indonesia di ranking global, menjadi relatif stagnant justru di
pasar yang kita mestinya harus lebih baik yaitu pasar MEA.
Laporan
MGI tersebut diatas juga mensyaratkan bahwa untuk bisa menjadi kekuatan
no 7 dunia, Indonesia harus bekerja luar biasa keras memperbaiki
ketersediaan tenaga terampil (skilled workers) dari 55 juta orang (2012)
menjadi 113 juta orang (2030) atau butuh tambahan 58 juta orang skilled
workers dalam 18 tahun sejak 2012.
Disinilah nampaknya problem terberat kita untuk mengejar pertumbuhan itu
– yaitu keterbatasan pertumbuhan skilled workers. Jumlah sarjana S1, S2
sampai S3-pun bisa saja bertambah secara bejibun – tetapi tidak
otomatis mereka ini menjadi skilled workers. Pendidikan tinggi memang
diperlukan, tetapi itu saja belum cukup.
Saya beri contoh seperti ini, seorang salesman yang bergelar MBA – dia telah belajar segala macam teori tentang marketing dan selling ketika duduk di Business School-nya . Ketika
masuk kerja sebagai salesman, dia tentu lebih mudah untuk bisa memahami
seluk beluk tentang perusahaan tempat dia bekerja, produknya, kekuatan
pemasaran dan salesnya, kekuatan competitor-nya dlsb.
Tetapi
itu semua baru bersifat knowledge atau pengetahuan, belum menjadi
skills. Ketika dia bisa mentransfer knowledge-nya menjadi strategi
pemasaran dan penjualan yang terbukti jitu bagi perusahaannya di
lapangan, maka barulah dia terbukti memiliki skills untuk itu.
Knowledge
adalah ilmu yang bersifat intangible, untuk menjadi skills yang bisa
bersifat tangible – ilmu itu harus diamalkan. Ilmu yang terus menerus
diamalkan sampai seseorang unggul di bidangnya – maka itulah skills. Dan
inilah yang nampaknya masih kurang di negeri ini, dan kurangnya banyak
sekali – yaitu 58 juta skilled workers sampai 2030 tersebut di atas !
Tentu
harus diakui bahwa pemerintah dan sejumlah instansi mestinya juga sudah
berbuat banyak, tetapi masih terus dibutuhkan lebih banyak lagi
keterlibatan kita semua untuk ikut juga berbuat semampu yang kita bisa.
Dimana
ada problem besar – seperti penyediaaan skilled workers – yang sangat
besar tersebut di atas, juga berarti peluang besar bagi yang bisa ikut
mengatasinya. Maka disinilah area Startup Center bekerja , inilah salah
satu peluang yang dilihat oleh para pemikir di think-thank kami.
Kami
melihat negeri ini membutuhkan terobosan besar, yang terstruktur –
sistematis dan massive untuk menyediakan skilled workers yang jumlahnya
puluhan juta tersebut di atas. Dan ini tidak cukup bila disediakan oleh
seluruh system pendidikan dan pelatihan yang ada sekarang.
Sebanyak
apapun institusi pendidikan yang ada, dia baru mengantarkan lulusannya
para sarjana yang terdidik – belum sarjana yang terampil. Lantas siapa
yang mengantarkan para sarjana tersebut menjadi terampil seperti kasus
salesman MBA tersebut dia atas ?
Umumnya
yang terjadi sekarang adalah para sarjana ini menempuh caranya
sendiri-sendiri untuk menjadi terampil di bidangnya. Banyak yang
berhasil tentu saja, tetapi juga lebih banyak lagi yang tidak berhasil
secara optimal.
Maka
inilah peluang yang kami lihat, bila kami bisa membuat system – yang
dengan itu bisa memperbaiki tingkat keberhasilan seorang yang sudah
terdidik menjadi seorang yang terampil – skilled workers tersebut diatas
– maka kontribusi semacam ini akan sangat membantu negeri ini untuk
mengejar gelarnya menjadi kekuatan no 7 terbesar di dunia, seperti yang
diprediksi MGI.
System yang kami maksud tersebut kemudian kami tuangkan menjadi sebuah startup project yang kami beri nama SkillsWhiz – yang berasal dari dua kata Skills (/skil/ - the ability to do something well) dan Whiz (/(h)wiz/ - a person who is extremely clever at something).
Intinya
ini adalah project berbasis Teknologi Informasi, dimana seseorang yang
memiliki keunggulan keterampilan tertentu – bisa menularkan/melatihkan –
secara efektif dan efisien ke orang-orang lain dalam jumlah yang bisa
jadi sangat banyak. Atau sebaliknya, seseorang yang membutuhkan
ketrampilan tertentu – bisa mencari dan memilih mentornya yang paling
efektif.
Secara
manual-pun ini bisa dilakukan, tetapi pertumbuhan skilled workers tidak
bisa cepat. Maka dibutuhkan solusi teknologi informasi agar para
Skills Whiz – para jagoan di bidangnya – yang bersedia menjadi mentor
bagi orang lain– dapat menjadi mentor para pemula secara efektif dan
efisien.
Bila
penambahan skills ini berjalan efisien, tanpa harus seseorang
meninggalkan tempat dan waktu kerja atau tempat tinggalnya – maka
upgrade skills akan berjalan secara massive – dan target 58 juta skilled
workers baru tersebut lebih mudah untuk direalisir.
Lantas
bagaimana kami mendanai project semacam ini ? sama dengan portfolio
project teknologi pendidikan yang sudah kami luncurkan sebelumnya yaitu iKuttab, SkillsWhiz adalah project untuk teknologi pelatihan. Bila keduanya digabung – maka insyaAllah lengkaplah teknologi pendidikan dan teknologi pelatihan kita sediakan untuk negeri ini.
Hanya
agar keduanya fokus di bidang masing-masing karena karakter pelatihan
yang berbeda dengan pendidikan, SkillsWhiz dikembangkan secara terpisah
dan juga dimodali secara terpisah. Project iKuttab
setelah kami perkenalkan tiga hari lalu kini Alhamdulillah sudah
terkumpul modal yang dibutuhkan secara cukup, maka bagi yang belum
berkesempatan ikut iKuttab dapat ikut terlibat di project SkillsWhiz
ini.
Dana
awal yang dibutuhkan untuk SkillsWhiz ini hanya separuh dari iKuttab
yaitu sekitar Rp 1 Milyar, bila dibagi 20 pemodal – maka hanya
dibutuhkan Rp 50 juta per pemodal. Modal ini akan dikonversi menjadi
equity setara 30 % saham PT Skills Whiz Indonesia (nama tentative) yang
akan dibentuk bersama 20 pemodal tersebut.
Saham selebihnya adalah tetap dipegang Startup Center untuk pengembangan project-project startup berikutnya - yang juga untuk membantu pemerintah mewujudkan visi 1,000 teknopreneur startup-nya.
Sebagian lagi dipertahankan sebagai saham simpanan atau saham portepel,
yang akan dikeluarkan bila dalam perjalanannya nanti SkillsWhiz
membutuhkan modal tambahan.
Bagi yang berminat, Financial projection untuk SkillsWhiz ini dapat di download di link ini.
Lagi-lagi project startup memang cenderung memiliki estimasi hasil yang
tinggi – bahkan kelihatan too good to be true, tetapi ini juga sepadan
dengan resikonya yang lebih tinggi dari rata-rata investasi pada
umumnya.
Untuk
menekan resiko ini ada tiga hal yang kami lakukan. Pertama memulai dari
yang kecil atau sederhana – maka dana awal yang dibutuhkan hanya Rp 1
Milyar. Kedua menggaet institusi besar yang memang bergerak dalam
pelatihan ini untuk menjadi test pilot-nya. Dan ketiga melibatkan
orang-orang yang memang sudah punya track record baik dalam melahirkan
startup-startup sebelumnya.
Tiga
pendekatan ini memang tidak bisa menghilangkan faktor resiko, tetapi
insyaallah dapat menekan resiko itu. Lebih dari itu, startup semacam ini
layak diperjuangkan atau diwujudkan – karena kalau tidak ada yang
berupaya berbuat di luar pakem yang ada, kita sudah tahu hasilnya
seperti tiga tahun terakhir berlalu sejak MGI mengeluarkan laporannya –
belum nampak ada yang tergerak merespon laporan tersebut secara konkrit.
Lantas mengapa bukan kita saja yang ikut berbuat secara konkrit dan
sekaligus mengambil kesempatan besarnya ? InsyaAllah kita bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar