SKillsWhiz Project Untuk Negeri No 7

Sabtu, 20 Februari 2016
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Sekitar 3 tahun lalu, McKinsey Global Institute (MGI) mengeluarkan report untuk Indonesia. Report tersebut pernah saya ulas  melalui tulisan “Redenominasi Untuk Apa ?” (25/01/2013). Salah satu yang menantang dalam report tersebut adalah peluang untuk Indonesia menjadi kekuatan ekonomi no 7 terbesar di dunia tahun 2030 – saat report tersebut ditulis Indonesia masih di urutan 16. Kini setelah 3 tahun berlalu, apakah kita menuju seperti yang diprediksi MGI tersebut ? ataukah malah menjauh ? Apa yang bisa kita lakukan ?


Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggelitik think-thank di Startup Center untuk menjadi salah satu project kajiannya. Karena kajian MGI tersebut adalah dari kacamata orang lain melihat Indonesia, maka data-data yang kami gunakan untuk memonitor perkembangannya juga dari data bagaimana orang lain melihat Indonesia.

Salah satu yang kami pandang cukup reliable karena terus diupdate secara tahunan adalah laporan tentang Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF). Pada saat laporan MGI tersebut dikeluarkan,  laporan WEF 2012/2013 menyebutkan ranking Indonesia dalam hal competitiveness-nya berada pada urutan 50 dari 144 Negara.

Laporan WEF terakhir 2015/2016 memang menyebutkan adanya perbaikan untuk Indonesia, yaitu kini berada pada urutan 37 dari 140 negara. Namun kita tidak bisa buru-buru berbangga karena seluruh negara tetangga pesaing utama kita di era MEA juga mengalami perbaikan.

Singapore yang dari urutan no 2 (2012/2013) tetap berada di no 2 (2015/2016), Malaysia dari 25 ke 18, Thailand dari 38 ke 32. Di belakang kita ada Phillipine dari 65 ke 47 dan Vietnam dari 73 ke 56. Walhasil perbaikan relatif Indonesia di ranking global, menjadi relatif stagnant justru di pasar yang kita mestinya harus lebih baik yaitu pasar MEA.

Laporan MGI tersebut diatas juga mensyaratkan bahwa untuk bisa menjadi kekuatan no 7 dunia, Indonesia harus bekerja luar biasa keras memperbaiki ketersediaan tenaga terampil (skilled workers) dari 55 juta orang (2012) menjadi 113 juta orang (2030) atau butuh tambahan 58 juta orang skilled workers dalam 18 tahun sejak 2012.

Disinilah nampaknya problem terberat kita untuk mengejar pertumbuhan  itu – yaitu keterbatasan pertumbuhan skilled workers. Jumlah sarjana S1, S2 sampai S3-pun bisa saja bertambah secara bejibun – tetapi tidak otomatis mereka ini menjadi skilled workers. Pendidikan tinggi memang diperlukan, tetapi itu saja belum cukup.

Saya beri contoh seperti ini, seorang salesman yang bergelar MBA – dia telah belajar  segala macam teori tentang marketing dan selling ketika duduk di Business School-nya .  Ketika masuk kerja sebagai salesman, dia tentu lebih mudah untuk bisa memahami seluk beluk tentang perusahaan tempat dia bekerja, produknya, kekuatan pemasaran dan salesnya, kekuatan competitor-nya dlsb.

Tetapi itu semua baru bersifat knowledge atau pengetahuan, belum menjadi skills. Ketika dia bisa mentransfer knowledge-nya menjadi strategi pemasaran dan penjualan yang terbukti jitu bagi perusahaannya di lapangan, maka barulah dia terbukti memiliki skills untuk itu.

Knowledge adalah ilmu yang bersifat intangible, untuk menjadi skills yang bisa bersifat tangible – ilmu itu harus diamalkan. Ilmu yang terus menerus diamalkan sampai seseorang unggul di bidangnya – maka itulah skills. Dan inilah yang nampaknya masih kurang di negeri ini, dan kurangnya banyak sekali – yaitu 58 juta skilled workers sampai 2030 tersebut di atas !

Tentu harus diakui bahwa pemerintah dan sejumlah instansi mestinya juga sudah berbuat banyak, tetapi masih terus dibutuhkan lebih banyak lagi keterlibatan kita semua untuk ikut juga berbuat semampu yang kita bisa.

Dimana ada problem besar – seperti penyediaaan skilled workers – yang sangat besar tersebut di atas, juga berarti peluang besar bagi yang bisa ikut mengatasinya. Maka disinilah area Startup Center bekerja , inilah salah satu peluang yang dilihat oleh para pemikir  di think-thank kami.

Kami melihat negeri ini membutuhkan terobosan besar, yang terstruktur – sistematis dan massive untuk menyediakan skilled workers yang jumlahnya puluhan juta tersebut di atas. Dan ini tidak cukup bila disediakan oleh seluruh system pendidikan dan pelatihan yang ada sekarang.

Sebanyak apapun institusi pendidikan yang ada, dia baru mengantarkan lulusannya para sarjana yang terdidik – belum sarjana yang terampil. Lantas siapa yang mengantarkan para sarjana tersebut menjadi terampil seperti kasus salesman MBA tersebut dia atas ?

Umumnya yang terjadi sekarang adalah para sarjana ini menempuh caranya sendiri-sendiri untuk menjadi terampil di bidangnya. Banyak yang berhasil tentu saja, tetapi juga lebih banyak lagi yang tidak berhasil secara optimal.

Maka inilah peluang yang kami lihat, bila kami bisa membuat system – yang dengan itu bisa memperbaiki tingkat keberhasilan seorang yang sudah terdidik menjadi seorang yang terampil – skilled workers tersebut diatas – maka kontribusi semacam ini akan sangat membantu negeri ini untuk mengejar gelarnya menjadi kekuatan no 7 terbesar di dunia, seperti yang diprediksi MGI.

System yang kami maksud tersebut kemudian kami tuangkan menjadi sebuah startup project yang kami beri nama SkillsWhiz – yang berasal dari dua kata Skills (/skil/ - the ability to do something well) dan Whiz (/(h)wiz/ - a person who is extremely clever at something).

Intinya ini adalah project berbasis Teknologi Informasi, dimana seseorang yang memiliki keunggulan keterampilan tertentu – bisa menularkan/melatihkan – secara efektif dan efisien ke orang-orang lain dalam jumlah yang bisa jadi sangat banyak. Atau sebaliknya, seseorang yang membutuhkan ketrampilan tertentu – bisa mencari dan memilih mentornya yang paling efektif.

Secara manual-pun ini bisa dilakukan, tetapi pertumbuhan skilled workers tidak bisa cepat. Maka dibutuhkan solusi teknologi informasi agar  para Skills Whiz – para jagoan di bidangnya – yang bersedia menjadi mentor bagi orang lain– dapat menjadi mentor para pemula secara efektif dan efisien.

Bila penambahan skills ini berjalan efisien, tanpa harus seseorang meninggalkan tempat dan waktu kerja atau tempat tinggalnya – maka upgrade skills akan berjalan secara massive – dan target 58 juta skilled workers baru tersebut lebih mudah untuk direalisir.

Lantas bagaimana kami mendanai project semacam ini ? sama dengan portfolio project teknologi pendidikan yang sudah kami luncurkan sebelumnya yaitu iKuttab, SkillsWhiz adalah project untuk teknologi pelatihan.  Bila keduanya digabung – maka insyaAllah lengkaplah teknologi pendidikan dan teknologi pelatihan kita sediakan untuk negeri ini.

Hanya agar keduanya fokus di bidang masing-masing karena karakter pelatihan yang berbeda dengan pendidikan, SkillsWhiz dikembangkan secara terpisah dan juga dimodali secara terpisah. Project iKuttab setelah kami perkenalkan tiga hari lalu kini Alhamdulillah sudah terkumpul modal yang dibutuhkan secara cukup, maka bagi yang belum berkesempatan ikut iKuttab dapat ikut terlibat di project SkillsWhiz ini.

Dana awal yang dibutuhkan untuk SkillsWhiz ini hanya separuh dari iKuttab yaitu sekitar Rp 1 Milyar, bila dibagi 20 pemodal – maka hanya dibutuhkan Rp 50 juta per pemodal. Modal ini akan dikonversi menjadi equity setara 30 % saham PT Skills Whiz Indonesia (nama tentative) yang akan dibentuk bersama 20 pemodal tersebut. 

Saham selebihnya adalah tetap dipegang Startup Center untuk pengembangan project-project startup berikutnya  - yang juga untuk membantu pemerintah mewujudkan visi 1,000 teknopreneur startup-nya. Sebagian lagi dipertahankan sebagai saham simpanan atau saham portepel, yang akan dikeluarkan bila dalam perjalanannya nanti SkillsWhiz membutuhkan modal tambahan.

Bagi yang berminat, Financial projection untuk SkillsWhiz ini dapat di download di link ini. Lagi-lagi project startup memang cenderung memiliki estimasi hasil yang tinggi – bahkan kelihatan too good to be true, tetapi ini juga sepadan dengan resikonya yang lebih tinggi dari rata-rata investasi pada umumnya.

Untuk menekan resiko ini ada tiga hal yang kami lakukan. Pertama memulai dari yang kecil atau sederhana – maka dana awal yang dibutuhkan hanya Rp 1 Milyar. Kedua menggaet institusi besar yang memang bergerak dalam pelatihan ini untuk menjadi test pilot-nya. Dan ketiga melibatkan orang-orang yang memang sudah punya track record baik dalam melahirkan startup-startup sebelumnya.

Tiga pendekatan ini memang tidak bisa menghilangkan faktor resiko, tetapi insyaallah dapat menekan resiko itu. Lebih dari itu, startup semacam ini layak diperjuangkan atau diwujudkan – karena kalau tidak ada yang berupaya berbuat di luar pakem yang ada, kita sudah tahu hasilnya seperti tiga tahun terakhir berlalu sejak MGI mengeluarkan laporannya – belum nampak ada yang tergerak merespon laporan tersebut secara konkrit. Lantas mengapa bukan kita saja yang ikut berbuat secara konkrit dan sekaligus mengambil kesempatan besarnya ? InsyaAllah kita bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar