Oleh: Muhaimin Iqbal
Bagi masyarakat yang karena satu dan lain hal harus diet ketat, ada daging khusus untuk mereka – daging yang jauh lebih mahal dari daging pada umumnya – daging yang disebut grassfed meat. Apa sesungguhnya grassfed meat ini ? tiada lain dia adalah daging dari binatang ternak sapi, domba dan kambing – yang diberi makan rumput! Lho , bukannya hewan-hewan ternak ini memang seharusnya makan rumput ? mengapa sekarang menjadi istimewa ? Ternyata karena mayoritas daging yang kita makan sekarang bukan lagi dari ternak yang memakan rumput !
Waktu belajar biologi di SMP dahulu kita dikenalkan dengan hewan memamah biak, yaitu sub-ordo ruminansia seperti sapi, domba, kambing
dlsb. Hewan-hewan jenis ini disebut berperut banyak, sehingga
pencernaannya menjadi sangat efisien – dengan dibantu microorganism di
perutnya mereka bisa menyerap nutrisi dari rerumputan dan hijauan secara
optimal.
Lambung
ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu rumen, reticulum, omasum dan
abomasum. Rumen merupakan tempat menyimpan makanan sementara, sehingga
ternak bisa makan rumput dengan cepat ketika merumput, dikunyah sedikit
terus dikirim ke penyimpanan sementara yaitu rumen ini. Di dalam rumen,
makanan ini dibasahi dan kemudian dikirim ke reticulum.
Ketika
hewan istirahat, makanan yang sudah setengah cerna tersebut dikirim
dari reticulum kembali ke mulut terus dikunyah lagi sampai lembut.
Setelah dikunyah lembut dari mulut, makanan dikirim ke omasum kemudian
ke abomasum. Grand process design seperti inilah yang telah
diciptakanNya untuk hewan ruminansia agar dia efektif menjadi hewan
gembalaan yang memakan rumput - abba (QS 80:32).
Lantas
apa jadinya, ketika sesuatu yang fitrah tersebut di-bypass di
industri-industri peternakan modern ? Hewan yang tadinya makan rumput
menjadi makan biji-bijian, bahkan untuk mendongkrak nutrisi sering juga
ditambah berbagai sumber protein dan mineral hewani ? Segala
permasalahan timbul dari sini, baik yang sudah diketahui maupun yang
belum diketahui.
Masyarakat
Padang tahu bahwa membuat rendang harus dari daging terbaik – daging
sapi local yang masih makan rumput. Masyarakat yang berdiet ketat di
negara maju, bila belanja daging akan mencari daging yang grassfed –
meskipun dia mahal.
Lantas
apakah ternak seperti sapi, domba dan kambing memang harus digembala
makan rumput ? bagaimana kalau padang rumput tidak lagi tersedia cukup
seperti kita yang hidup di jaman ini ?
Di
pasar terbesar Indonesia yang terkonsentrasi di suatu wilayah yang saya
sebut BJJB (Banten, Jakarta dan Jawa Barat) misalnya, wilayah dengan
penduduk sebanyak penduduk Kerajaan Inggris ini (+/- 65 juta) – tidak
lagi tersedia padang rumput untuk menggembala ternak.
Saya
memelihara kambing di Jonggol – Bogor sejak 8 tahun lalu, awalnya masih
bisa mencari rumput di sekitar komplek peternakan kami. Tetapi komplek
peternakan tersebut kini telah dikepung oleh komplek perumahan yang
dikembangkan oleh developer raksasa – yang targetnya tentu menjadikan
seluruh wilayah yang bisa dibelinya menjadi area perumahan – tidak lagi
tersedia area hijau untuk sekedar mengambil rumput.
Lantas
apakah kita akan menyerah ? mengikuti cara modern beternak dengan
memberi makan ternak kita dari produk industri pakan ternak ? Inilah
yang semaksimal mungkin kita hindari, selain mahal – juga ternak kita
tidak lagi menjadi hwan ternak yang memamah biak tersebut di atas.
Indahnya
petunjuk Al-Qur’an itu turun untuk umat akhir Zaman. Al-Qur’an dahulu
turun untuk menjawab seluruh persoalan (QS 16:89), kinipun akan tetap
bisa menjawab persoalan umat di jaman ini.
Salah
satu jawaban atas problem pakan ternak tersebut di atas – yang tidak
perlu meninggalkan fitrah hewan pemamah biak yang memakan rerumputan –
inspirasinya ada di ayat berikut :
“Dan tidakkah mereka memperhatikan, Kami mengarahkan air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan itu tanaman semusim sehingga hewan-hewan mereka dapat makan daripadanya dan juga diri mereka. Maka mengapa mereka tidak memperhatikan ?” (QS 32:27)
Ayat
ini dibuka dan ditutup dengan pertanyaan yang senada – yaitu mengapa
mereka (manusia) tidak melihat/memperhatikan. Ini menyangatkan
pentingnya untuk memperhatikan pesan yang diapit oleh dua pertanyaan
tersebut. Pesannya adalah tentang air yang menumbuhkan tanaman semusim
(zar’a ) untuk pakan ternak, dan kemudian juga untuk manusianya.
Tanaman
semusim yang kita kenal seperti jagung, sorghum dlsb. memang bisa
dijadikan pakan ternak. Tetapi kalau biji-bijinya digiling dicampur
berbagai nutrisi seperti yang ada di pabrik-pabrik feedmill , jadinya
pakan ternak yang grainfed dan tidak lagi fitrah untuk binatang memamah
biak tersebut di atas.
Batang-batang
tanaman jagung dan sejenisnya juga bisa dijadikan pakan ternak, tetapi
karena bulky – volumenya yang besar, menjadi sangat merepotkan kalau
harus dikirim ke tempat-tempat yang jauh dari tempat menanamnya.
Biomassa batang jagung, sorghum dlsb, dapat memberikan pakan ternak
ruminansia yang baik – tetapi peternakannya harus dekat dengan lokasi
ladangnya.
Lantas
bagaimana memenuhi kebutuhan daging dan susu segar di tempat-tempat
padat penduduk seperti wilayah BJJB, dan juga di kota-kota besar lainnya
– dimana tidak ada lagi lahan untuk berkebun pakan ternak yang cukup di
wilayah tersebut ?
Salah satu solusinya kembali ke ayat tersebut di atas, menanam biji-bijian di tempat yang masih memungkinkan
– misalnya kalau di Indonesia bisa ditanam di Sulawesi, Madura, NTB,
NTT dlsb. Kemudian hasil biji-bijiannya saja yang dikirim ke
sentra-sentra peternakan yang mendekati pasarnya.
Tetapi
di sentra-sentra peternakan tersebut, biji-bijian tidak digiling di
pabrik untuk dijadikan pakan ternak. Biji-bijian ini ditumbuhkan lagi
sampai 7-10 hari, menjadi rumput tebal hijauan ternak yang disebut
fodder.
Dengan
cara ini ternak ruminansia tetap pada fitrahnya memakan hijauan rumput,
murah karena tidak perlu investasi mesin pabrik feedmill untuk
menggiling dan mencampur pakan. Dan lebih dari itu biaya pakan pasti
lebih murah, mengapa demikian ?
Kalau
kita menggiling jagung menjadi pakan ternak, maka 1 kg jagung tidak
mungkin menghasilkan lebih dari 1 kg pakan. Kalau toh lebih itu karena
bahan lain yang ditambahkan seperti air dan campurannya. Masa suatu
produk yang diproses di pabrik buatan manusia, tidak melebihi dari
penjumlahan seluruh bahan bakunya.
Tetapi
di pabrik buatan Allah, output bisa jauh melebihi gabungan input bahan
bakunya – inilah yang kita kenal dengan proses tumbuh. Sesuatu yang
hidup karakternya dia bisa tumbuh – pabrik buatan manusia tidak bisa
menghasilkan sesuatu yang hidup –
tidak bisa meniru pabriknya Allah. Satu kilogram jagung bisa menjadi 6
kg fodder, karena yang 1 kg tersebut mengalami proses pertumbuhan dalam
waktu 7-10 hari tersebut di atas.
Ketika
satu biji jagung tumbuh, terjadi proses fotosintesa yang mengubah
sesuatu dari awang-awang (air dan carbon dioksida) dengan bantuan energi
cahaya (matahari) menjadi berbagai bentuk glukosa, karbohidrat,
cellulose dlsb. Reaksi kimianya adalah 6CO2 (karbon dioksida) +6H2O
(air) ==> C6H12O6 (glukosa) + 6O2 (oksigen).
Nah
sekarang kita punya pilihan, untuk pakan ternak kita misalnya – kita
beri pakan dari pabrik, dengan hasil yang mengubah fitrah hewan kita,
dengan proses pabrik yang lebih mahal dan memberikan hasil produk yang
tidak melebihi inputnya, atau
Memberi
pakan ternak kita dengan pakan yang tumbuh alami, diproses di pabriknya
Allah, dari satu kilogram bahan tumbuh menjadi bahan pakan yang
ber-kilo-kilo, dan bukan hanya kwantitasnya yang bertambah, tetapi juga
nutrisinya. Ketika jagung tumbuh menjadi fodder, tanaman muda ini
menjadi jauh lebih mudah dicerna ketimbang tepung jagungnya. Protein, vitamin dan mineral menjadi lebih mudah terserap oleh tubuh ternak yang memakannya.
Meskipun
lengkap dengan berbagai kelebihan tersebut, mengapa yang fitrah belum
menjadi pilihan bagi para pelaku industri ? Karena yang fitrah ini perlu
waktu untuk tumbuh – ternak tidak cepat gemuk secepat bila dia diberi
pakan modern. Tetapi bagi konsumen, apa yang kita butuhkan ? apakah
daging dari ternak yang gemuk yang tumbuh dengan cepat ? atau daging
dari ternak yang tumbuh secara fitrah ?
Ketika
orang masih meributkan daging dari sisi harga , sampai dicari daging
dari mana saja asal murah – kita sudah berfikir bukan hanya daging yang
murah tetapi juga harus sangat baik. Dan ini hanya dimungkinkan bila
kita sendiri yang terlibat mengawalnya dari ujung ke ujung, mulai dari
menanam jagung, membibitkan ternak, membuat fodder untuk memberi pakan
ternak dan membangun riba-free ecosystem-nya. Bagi yang berminat,
silahkan menghubungi kami di kontak situs ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar