Oleh: Muhaimin Iqbal
Meskipun kita tahu bahwa ‘riba telah mengambil makanan kita’, mengapa sulit sekali kita berlepas diri darinya ? karena riba itu telah menyelimuti kita seperi pekatnya malam dalam ecosystem ribawi yang sangat kompleks. Seperti ikan yang hidup dalam laut yang tercemar, seberapa kuat-pun dia ingin mengambil oksigen bersih dari air dan memilih-milih makananannya – tetap saja dia harus mendapatkannya dari air yang sudah tercemar. Seperti itulah ecosystem yang menyelimuti kita sehingga seberapa kuat-pun kita ingin bebas riba, debu-debu riba tetap terhirup masuk ke tubuh kita. Lantas apa solusinya ?
Sebelum saya uraikan solusinya, saya beri dahulu gambaran situasinya – karena sebagian orang tidak setuju kalau kita hanya ‘mengkambing-hitamkan’
riba untuk semua permasalahan kita. Betul bahwa riba bukan satu-satunya
penyebab, tetapi riba adalah hulu yang sangat kuat dari setiap
permasalahan ekonomi kita.
Seperti
bila Anda tidak menyukai seseorang, maka apapun yang dilakukan orang
tersebut adalah salah di mata Anda. Bagaimana kalau yang tidak suka ini
adalah Allah ?, bahkan Allah dan RasulNya mengumumkan perang (QS 2:279),
dan mengancam memusnahkan riba ( QS 2:276) – maka apa saja yang kita
lakukan yang masih terkait atau bersinggungan dengan riba ini menjadi
salah.
Saya
ambilkan contoh kasus yang kita hadapi hari ini, mengapa kita tidak
bisa makan daging cukup – konsumsi rata-rata kita hanya sekitar ¼ dari
rata-rata konsumsi dunia ? Karena harga daging tidak terjangkau oleh
rata-rata penghasilan penduduk kita. Apa yang membuat harga daging tidak
terjangkau ?
Bayangkan
proses daging sampai meja makan kita. Mayoritas daging yang kita beli
adalah produk dari industri besar, perlu pabrik untuk memproses pakan
ternak. Dengan apa pabrik pakan ternak ini dibiayai ? hampir pasti
dibiayai dari dana bank. Berapa % bank mengharapkan bunga dari dananya ?
misalnya 10 %. Berapa hasil usaha pakan ternak tersebut ? bila suatu
usaha bisa memberikan hasil/margin keuntungan tahunan
20 % - itu sudah jempolan. Lha untuk membayar bunga bank-nya 10 %,
artinya separuh sendiri dari keuntungan kerja keras dia untuk bank. Jadi
dari unsur biaya pakan ternak ada unsur bunga bank.
Sekarang
ternak-nya sendiri, mayoritas daging yang kita makan jenis unggas –
jumlahnya lebih dari dua kali daging binatang besar seperti sapi, domba,
kambing dlsb. Dimana anak-anak ayam ini diproduksi ? di pabrik-pabrik
penetasan ayam, dari mana dananya ? sama dengan pabrik pakan tadi. Jadi
pada anak ayam-pun terbawa unsur riba dari bunga bank.
Oh
saya lebih suka makan daging sapi, dari mana sapi didatangkan ?
dibiayai dengan apa ? sapi-sapi dan bahkan sebagian juga sudah menjadi
daging daging diimpor dan dibayar dengan dana talangan bank – Letter of
Credit – yang juga berbasis bunga. Pada harga sapi atau daging yang
diimpor juga terbawa unsur bunga.
Debu
riba dari bunga ini terus bertebaran melalui jaringan distribusinya –
yang untuk memodali outlet super marketnya, memodali transportasinya,
memodali restorannya. Pendek kata dari hulu ke hilir, riba terus
membayangi proses sampainya daging ke meja makan kita.
Sudah
sampai meja makan kita, tinggal masuk ke mulut kita-pun riba masih bisa
menghampiri. Berapa banyak orang berbelanja menggunkan credit card,
membayar makanan restoran dengan credit card – yang semuanya membawa
unsur riba – kalau tidak percaya periksa tagihan credit card Anda !
Riba
tidak hanya berperan menambahkan harga pada barang yang kita konsumsi,
riba juga berperan menghilangkan alternatif solusi, menghilangkan
potensi lapangan kerja baru dan otomatis juga menghilangkan peluang
pendapatan baru bagi masyarakat. Kok bisa ?
Teman-teman
di lembaga riset, perguruan tinggi dan para peneliti – banyak sekali
menelorkan karya-karya yang luar biasa. Periksa di
perpustakaan-perputakaan perguruan tinggi ternama, cari thesis S1-S3,
berjibun jumlahnya yang memberikan solusi yang lebih baik untuk berbagai
urusan kita seperti contoh kasus ternak/daging tersebut di atas.
Mengapa
solusi-solusi cemerlang yang penggagas-nya menempuh waktu
bertahun-tahun sampai bisa menyusun thesis S1, S2 dan bahkan juga S3 –
dan diganjar gelar Sarjana sampai Doktor, karyanya hanya berakhir di
perpustakaan ?
Karena
ketika karya-karya tersebut hendak diimplementasikan, selalu
dibandingkan dengan bunga deposito, SBI dan instrumen investasi lainnya.
Pada umumnya orang tidak tertarik berinvestasi ke hal baru yang
beresiko, ketika dia bisa berinvestasi yang pasti – dijamin oleh LPS
pula – dan sudah memberikan hasil 6 % misalnya.
Ketika
tidak ada inovasi baru yang diterapkan, tidak ada terobosan dalam
penyelesaian masalah – maka lingkaran setan harga cabe tidak bisa
diputus, harga daging tetap tinggi, impor bahan pangan tidak terelakkan,
dan kita menjadi negeri agraris yang justru food security kita kalah
jauh dari negeri jiran yang yidak memiliki lahan. Lantas seperti apa
solusi konkritnya ?
Sebagaimana
pangkal dari problemnya yang bermuara di riba – demikian pula solusinya
harus bermuara pada dihilangkannya riba. Kita harus bisa membangun
ecosystem bebas riba, yang meng-encourage para innovator untuk terjun
memberikan solusi, dan mendorong para pemilik dana menggunakan dananya
untuk menggerakkan sektor riil.
Kembali untuk contoh kasus harga daging di atas misalnya, Riba-free Ecosystem yang kita bangun bisa seperti ilustasi berikut :
Ada
system pakan ternak yang sudah banyak diteliti yang disebut Fodder
System. Yaitu biji-bijian tidak diproses melalui pabrik untuk menjadi
pakan ternak, tetapi ditumbuhkan hanya dengan bermodalkan air. Setiap
kilogram biji-bijian, menjadi fodder sekitar 6 kali berat biji-bijian
tersebut setelah ditumbuhkan dalam periode 7-10 hari.
System
ini membuat bahan baku pakan ternak menjadi tinggal 1/6-nya, berarti
jauh menjadi lebih murah. Tidak perlu diproses di pabrik-pula, maka satu
unsur riba tersebut di atas sudah kita hilangkan. Bukan hanya
menghilangkan riba, peran memproduksi pakan ternak juga pindah dari
pabrikan besar ke para peternak langsung – artinya industri peternakan
menjadi lebih menyebar, tidak terkonsentrasi pada pemilik modal besar.
Karena
kebutuhan biji-bijian menjadi menyebar langsung ke peternak, harga
jagung, sorghum dlsb juga bisa menjadi lebih stabil. Akan menarik bagi
petani untuk mulai menanam biji-bijian karena mereka akan memiliki pasar
yang luas, bukan pasar yang dikendalikan segelintir pemain.
Ketika
petani tidak memiliki modal untuk menanam, para peternak atau pedagang
biji-bijian dapat memesan biji-bijian ke petani langsung atau via
koperasi/kelompok tani dengan akad salam. Petani mendapatkan modal untuk
menanam, peternak mendapatkan jaminan ketersediaan bahan pakan dan
tanpa riba – satu lagi unsur riba kita hilangkan dalam supply daging.
Katika
beternak menjadi menarik, pakannya mudah dan murah – tidak tergantung
pabrik pakan ternak, tidak tergantung padang rumput – yang memang sudah
tidak lagi tersedia cukup di negeri ini, maka akan lahir peluang baru
bagi yang mau mengkhususkan pembibitan ternaknya, baik unggas maupun
binatang besar.
Para
pembibit yang tidak punya modal juga bisa didanai dengan akad salam
untuk mulai melakukan pembibitannya. Karena semua diproduksi local,
tidak lagi perlu L/C untuk membiayai impor bibit ternak atau bahkan
dagingnya – satu lagi unsur riba dihilangkan. Maka begitu seterusnya
setiap unsur riba di mata rantai daging bisa kita hilangkan dengan akad
salam atau akad lain yang sesuai dengan syariah.
Tentu
ini tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi bila pekerjaan besar
ini dlakukan dengan keroyokan – dalam satu ecosystem bebas riba yang
saling menunjang satu sama lain, maka inilah yang insyaAllah nantinya
bisa membebaskan kita dari ecosystem riba yang membelenggu kita seperti
gelapnya malam selama ini.
Namun
sebagus-bagus ide, juga tetap tidak akan berdampak kecuali dia
dieksekusi di lapangan. Maka yang dijanjikan Allah memimpin dunia bukan
yang punya ide, tetapi yang beriman dan beramal shaleh (QS 24:55) – dia
yakin dengan petunjuk Allah dan mengeksekusinya di lapangan.
Sebagaimana
sebuah ide atau pemikiran, ide bebas riba juga hanya memiliki peluang
sukses 20% - sedangkan yang 80 %-nya adalah execution! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar