Oleh: Muhaimin Iqbal
Kemarin saya melakukan survey kecil-kecilan untuk mendeteksi seberapa banyak masyarakat memahami konsep timbangan yang adil dalam ekonomi, hasilnya luar biasa. Lebih dari 200 orang merespon survey tersebut dalam waktu kurang lebih enam jam. Mayoritas pembaca situs ini tentu bisa menjawabnya dengan benar, bahkan ada yang menjawab sangat akurat pada jam 14:02 yaitu Bapak Oki Baskoro Rachmat – Maka beliaulah yang menang Quiz yang sekaligus survey tersebut. Jawabannya ada di artikel saya lebih dari 4 tahun lalu dalam tulisan Kembalinya Timbangan Yang Hilang.
Seperti
yang diungkapkan oleh Imam Ghazali hampir 1000 tahun lalu, timbangan
yang adil untuk muamalah itu hanya emas (Dinar) dan perak (Dirham). Ketika
timbangan ini tidak digunakan, bagaimana orang bisa tahu apakah suatu
transaksi – khususnya transaksi jangka panjang – itu adil atau tidak ?
Nampaknya
ini sepele, tetapi implikasinya sungguh sangat luas di bidang ekonomi.
Ada yang meminjamkan Rp 42 juta tahun 2001 dan menuntut Rp 1.8 milyar
tahun 2017, adilkah ? Dibayar Rp 42 juta tidak adil bagi yang
meminjamkan karena daya beli uang Rupiah yang terus merosot, inflasi
tahunan kita saja di atas 5%, dan ini berfluktusasi dari waktu ke waktu
kadang jauh lebih besar.
Tapi
ya mosok menjadi Rp 1.8 milyar dalam 17 tahun ? tentu akan sangat
memberatkan peminjam kalau ini yang diputuskan. Lantas berapa yang adil ?
mengikuti ungkapan Imam Ghazali tersebut, ditimbang menggunakan
timbangan yang adil yaitu emas atau perak, Dinar atau Dirham.
Bukan
hanya urusan pinjam meminjam ini yang sangat membutuhkan timbangan yang
adil agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari. Urusan jual beli
dengan cicilan-pun menjadi sangat membutuhkannya.
Sebagai
contoh sekarang banyak ide kreatif untuk menghadirkan rumah dengan
cicilan yang sesuai syariah – cicilan dengan bunga 0 % misalnya, apakah
ini otomatis sesuai syariah ? perlu kajian yang sangat mendalam untuk
ini.
Ambil contoh begini, Rumah standar di pinggiran Jakarta seharga
Rp 500 juta mau diangsur dengan 0% bunga untuk dicicil 10 tahun.
Setelah DP 30%, maka yang harus diangsur tersebut tinggal Rp 350 juta.
Bila diangsur rata setiap bulan Rp 350 juta : 120 bulan, maka cicilannya
Rp 2,916,667 per bulan.
Masalahnya
adalah daya beli uang sebesar Rp 2,916,667 itu menyusut terus dari
waktu ke waktu, sehingga pihak pemberi pinjaman apakah itu developer
ataupun pihak lainnya – dia menerima pembayaran yang semakin mengecil.
Para
developer dan kreditor tentu tahu masalah penyusutan nilai uang ini,
lantas apa yang mereka lakukan untuk mencovernya ? Mereka membuat
struktur harga sedemikian rupa sehingga setelah pembeli membayar 30%
(DP) plus beberapa kali cicilan sehingga mencapai 40 % dari harga –
mereka sudah BEP alias impas. Cicilan selanjutnya tinggal untungnya,
jadi menyusut tidak apa-apa katanya – lha wong tinggal untung.
Menjadi
lebih serius masalahnya karena berarti harga yang dibayar konsumen
sesungguhnya 2.5 kali harga BEP, apakah ini wajar ? Mungkin ini dianggap
wajar di system ekonomi kapitalisme ribawi, tetapi tidak bila kita
ingin mengikuti petunjukNya. Karena praktek menjual rumah 2.5 kali harga
BEP inilah yang membuat rumah tidak terjangkau oleh sekian juta
penduduk negeri ini ?
Bagaimana
kalau kita buat dengan pendekatan dengan harga menggunakan pendekatan
timbangan yang adil. Hasilnya kurang lebih begini, karena Rumah Rp 500
juta tersebut BEP-nya adalah 40 % misalnya, maka dengan harga Rp 200
juta – si developer sudah impas. Tentu dia bisa mengambil untung yang
wajar – misalnya 25 % sekalipun untungnya. Harga jual menjadi Rp 250
juta.
Berapa
DP-nya ?, kan kalau harganya Rp 500 juta pembeli mampu membayar DP 30%
yaitu Rp 150 juta. Maka pembeli yang sama mengapa tidak membayar juga
dengan DP Rp 150 juta untuk rumah yang kini tinggal Rp 250 juta harganya
! Dengan ini sisa yang perlu dicicil itu tinggal Rp 100 juta.
Namun
karena developer juga perlu dijaga jangan sampai rugi, cicilan dalam 10
tahun tanpa bunganya harus berdaya beli tetap – yaitu menggunakan
standar Dinar. Rp 100 juta saat ini setara dengan 44.73 Dinar, bila
dicicil dalam 10 tahun menjadi 44.73 Dinar : 120 bulan = 0.37 Dinar.
Bila
pembeli rumah jatuh tempo pembayaran cicilan bulannya saat ini
cicilannya menjadi 0.37 Dinar x Rp 2,235,801 = Rp 833,333,- , jauh lebih
ringan ketimbang cicilan semula yang Rp 2,917,667,-. Tetapi cicilan ini
akan naik mengikuti harga Dinar pada saat cicilan jatuh tempo
berikutnya , bisa juga turun. Naiknya cicilan besar kemungkinan juga
akan seiring dengan naiknya pendapatan si pembeli, insyaallah akan tetap
terjangkau.
Bayangkan
efeknya, developer terhindar dari kerugian karena penurunan daya beli
cicilan yang 10 tahun – yaitu bila dia tetap menggunakan timbangan
Rupiah, dan si pembeli-pun diuntungkan dengan cicilan yang jauh lebih
terjangkau saat ini – untuk rumah yang sama dan uang muka yang sama. Kok
bisa dua-duanya untung ? Itulah konsep berkah karena kita meninggalkan
riba !
Bila
di riba berlaku zero sum game – yaitu ketika ada yang untung pasti ada
yang rugi karena totalnya nol, dalam konsep berkah – harta itu bisa
terus bertambah tanpa harus merugikan yang lain.
Aplikasi
timbangan yang adil tersebut dapat selanjutnya digunakan untuk
menurunkan DP juga. Misalnya developernya mau menerima DP yang tetap 30 %
dari harga yang sudah menjadi Rp 250 juta. Maka si pembeli cukup
membayar Rp 75 juta untuk rumahnya.
Yang
akan dicicil 10 tahun adalah Rp 175 juta atau setara 78.27 Dinar,
cicilan per bulan menjadi 0.65 Dinar. Cicilan yang jatuh tempo saat ini
adalah setara Rp 1,458,333,-. Lihat sekarang rumah bukan hanya DPnya
menjadi sangat murah, tetapi cicilannya juga tinggal separuh (untk saat
ini) dari konsep yang sudah disebut syariah – tetapi masih menggunakan
timbangan Rupiah tersebut di atas.
Maka
inilah satu-satunya jalan kalau kita ingin menghadirkan kemakmuran bagi
rakyat, seperti dalam menurunkan harga rumah – agar lebih terjangkau
ini. Tidak ada cara lain kecuali menghadirkan keadilan – karena keadilan
itu lebih dekat kepada takwa (QS 5:8) , ketika kita bertakwa maka
berkah dari langit dan dari bumi akan dilimpahkan olehNya ke bumi ini
(QS 7:96).
Ketika berkah melimpah, semuanya diuntungkan karena berkah bukan zero sum game. Siapa mau berkah ? Insyaallah kita semua mau !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar