Oleh: Muhaimin Iqbal
Dahulu dakwah para wali berjalan sangat efektif karena mereka terjun langsung menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Mereka mengajarkan amal yang nyata kepada para murid-muridnya, diantaranya adalah ajaran untuk menemui ‘wong telu’ dalam perjalanan dakwahnya. Siapa ‘wong telu’ ini ? Dia adalah tiga jenis orang yang harus ditemui, dalam bahasa jawa disebut wong kang luwe lan ngelak (orang yang lapar dan dahaga), wong kang kepanasen lan kudanan (orang yang kepanasan dan kehujanan) dan wong kang udo (orang yang telanjang).
Ajaran
yang dibawa para wali ini secara turun temurun diwariskan kepada para
muridnya, para ulama dan kiyai – sampai pesantren-pesantren tua yang
masih ada di Jawa. Hanya saja karena ajaran tersebut tidak lagi
diamalkan oleh murid-muridnya yang jauh di jaman ini, maka disitulah
kita kehilangan salah satu metode dakwah yang efektif ini.
Saya
tidak tahu apakah tiga kebutuhan pokok yang sering kita sebut sandang –
pangan – papan ini berasal dari asimilasi program para wali di tanah
Jawa di jaman modern ini, tetapi yang jelas ini juga ada referensinya di
Al-Qur’an.
Ketika
Adam dan Hawa masih di surga, Allah mengingatkan keduanya agar jangan
sampai iblis mengeluarkannya dari surga. Sebab bila sampai keluar dari
surga – Adam dan Hawa akan celaka (QS 20:117) - yang berarti turunannya
juga demikian. Nah kecelakaan apa yang dimaksud Allah dalam ayat ini ?
yaitu hiangnya jaminan fasilitas surga – yang tidak dimiliki oleh
penduduk dunia.
“Sungguh,
ada (jaminan) untukmu di sana (surga), engkau tidak akan kelaparan dan
tidak akan telanjang. Dan sungguh di sana engkau tidak akan merasa
dahaga dan tidak akan terpapar terik matahari” (QS 20 : 118-119).
Ayat
ini intinya adalah tentang adanya tiga urusan kebutuhan pokok manusia
selagi dia di dunia – yaitu sandang, pangan dan papan. Maka bila kita
bisa mengurusi kebutuhan-kebutuhan pokok inilah umat ini akan mandiri,
bebas dari ketergantungan dan cengkereman umat yang lain.
Untuk
urusan sandang insyaallah saat ini bukan lagi isu, karena
semiskin-miskinnya umat masih bisa berpakaian yang baik – tidak ada lagi
yang masih terpaksa ‘udo’, kalau toh ada yang masih ‘udo’ itu karena
pilihannya untuk tidak mengindahkan petunjuk berpakaian yang baik.
Untuk
urusan pangan, konon negeri ini sudah swasembada pangan sejak tahun
lalu. Meskipun demikian, saya banyak sekali menulis di situs ini untuk
tetap mewaspadai urusan yang satu ini. Kelebihan produksi pangan tahun
lalu bukanlah prestasi atau program siapa-siapa, semata-mata itu karena
Allah melimpahkan hujan yang berlebih sepanjang 16 bulan terkhir
sehingga lahan-lahan bisa ditanami secara optimal. Mudah-mudahan kita
juga siap menghadapi kemarau panjang, yang juga sudah diisyaratkan Allah
di surat Yusuf ayat 47-48.
Nah
bagaimana dengan urusan papan ? ini adalah kebutuhan besar umat yang
masih terus harus diatasi. Setiap tahun dibutuhkan sekitar 1.2 juta
rumah baru di Indonesia, dibutuhkan 30 juta rumah sampai tahun 2025.
Pada urusan perumahan ini selain masalah ketersediaan, juga ada masalah
yang tidak kalah seriusnya yaitu masalah keterjangkauan.
Dengan
pinjaman dunia perbankan, capital market dan bahkan juga dana-dana
modal dari luar negeri – bisa saja rumah baru 1.2 juta unit tersebut
diadakan – tetapi bagaimana kalau rumah yang ada tersebut tidak
terjangkau oleh yang membutuhkan ?
Maka
keterjangkuan inilah yang juga harus menjadi top priority dalam
pengadaan rumah. Selama rumah masih dibiayai dengan dana-dana riba, maka
dia akan cenderung mahal seperti yang saya uraikan dalam tulisan saya
tentang Keadilan Ekonomi Bukan Zero Sum Game kemarin.
Bahkan
ketika sudah di-arrange sesuai ketentuan syariah sekalipun, ketika
rujukan sumber dananya masih disetarakan dengan riba- bunga bank dan
sejenisnya – rumah itu juga masih mahal. Tanyakan ini kepada para
pembeli rumah yang sudah menggunakan akad syariah, apakah rumahnya
menjadi lebih murah ?
Maka
harus ada mindset baru dalam pengadaan rumah untuk umat ini, tidak lagi
merefer kepada pinjaman modal dari perbankan, pasar modal dlsb karena
nantinya kembalinya masih kepada timbangan Rupiah yang sama – yang
ujung-unjungnya rumah tetap mahal.
Dalam
hitungan yang saya sajikan di tulisan tersebut di atas, baik cicilan
maupun uang muka bisa diturunkan dengan sangat significant manakala kita
gunakan timbangan yang adil berupa emas atau Dinar.
Tetapi
solusi ini juga masih menyisakan satu pertanyaan besar yang belum saya
jawab di tulisan saya tersebut di atas. Yaitu darimana sumber dananya
untuk membangun perumahan dengan skema cicilan dan uang muka menggunakan
standar emas/Dinar tersebut di atas.
Dalam
contoh perhitugan tersebut saya gunakan margin keuntungan 25 % yang
tentu sudah sangat baik bila uangnya dibayar tunai. Tetapi bagaimana
kalau dicicil 10 tahun misalnya ? Tingkat keuntungan bagi yang menjual
tinggal setara kurang lebih 2.25% per tahun. Siapa yang mau jualan
dengan hasil yang hanya setara 2.25% per tahun ?
Mayoritas
kita mungkin tidak mau, mengapa ? ya karena mindset kita terkooptasi
dengan standar riba bunga bank saja yang 6% per tahun, mosok menjual
dengan cicilan yang beresiko hanya mendapat 2.25% per tahun. Maka inilah
mindset yang harus dirubah itu.
Hasil
6% per tahun-pun tetap bisa tidak cukup bila timbangannya Rupiah yang
mengalami penggerusan karena inflasi dari waktu ke waktu. Sementara
hasil setara 2.25% per tahun di perhitungan saya adalah dengan nilai
standar emas – yang daya belinya proven terjaga sepanjang lebih dari
1,400 tahun.
Anda
kalau tinggal di Amerika dan memiliki deposito-pun suku bunganya hanya
sekitar 1.35 %, di Eropa malah hanya sekitar 0.05% per tahun. Sedangkan
emas jauh lebih kuat ketimbang Dollar dan Euro, jadi 2.25% per tahun
mestinya sudah sangat memadai. Maka saya yakin banyak para pemodal yang
bersedia membiayai program semacam ini, bila mereka memahami konsepnya.
Tetapi
yang jauh lebih penting dari itu, kalau kita ingin menjadi murid para
wali tersebut di atas – maka ini bukanlah hanya karena kita ingin
berbisnis perumahan dan sejenisnya, ini bagian dari perintah untuk
menemui ‘wong telu’ tersebut di atas.
Saya
sendiri tidak masuk di bisnis perumahan atau pembiayaan perumahan,
namun bagi Anda yang ada di bisnis ini – bila dibutuhkan penjelasan
lebih detil dari saya – insyaAllah dengan senang hati Startup Center
Indonesia bisa memfasilitasi lahirnya startup baru untuk usaha perumahan
atau pembiayaaan perumahan berbasis timbangan yang adil emas atau
Dinar.
Supaya kita bisa menemui orang ketiga dari ‘wong telu’, yaitu wong kang kepanasan lan kudanan – payungono, orang yang kepanasan dan kehujanan – beri dia peneduh ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar