Oleh: Muhaimin Iqbal
Orang Indonesia punya cara yang baik untuk menggambarkan masalah besar di depan mata yang justru tidak kelihatan, yaitu dengan ungkapan ‘gajah di pelupuk mata’. Senada dengan ini, dalam bahasa Inggris ada ungkapan ‘helicopter view’ – yaitu melihat sesuatu dari ketinggian atau kejauhan supaya yang semula tidak nampak menjadi nampak semua sisi-sisinya. Kalau kita tarik terus ke atas, dengan ‘satellite view’ kita akan bisa melihat scope yang lebih besar besar lagi. Bagaimana kalau terus kita tarik ke atas lagi, apa yang akan kita lihat ?
Dengan
suku bangsa yang sama, bahasa yang sama – Korea Selatan amat sangat
maju dibandingkan dengan saudaranya Korea Utara. Ini nampak dari
gemerlapnya lampu di malam hari Korea Selatan, didandingkan dengan
pekatnya malam – yang membuat Korea Utara nyaris tidak nampak, hanya
bahwa itu sebuah negeri daratan bila diberi garis batas .
Apa
yang membuat Korea Utara begitu jauh tertinggal dari saudara kandungnya
Korea Selatan ? Penyebabnya adala pola pikir komunis yang tidak
kondusif untuk mendorong kemajuan berpikir, berusaha, beraktivitas
ekonomi, berinovasi, bebas mengungkapkan ide dlsb. Intinya tidak
mendorong orang untuk menggunakan kebebasan berpikirnya untuk
memakmurkan bumi ini, itulah yang membuat Korea Utara gelap gulita di
malam hari – tanda tiadanya kemampuan untuk mengikuti kemajuan jamannya.
Ini
baru untuk urusan dunia, bagaimana untuk urusan yang lebih luas dan
lebih panjang dari urusan dunia ? satellite view-pun tidak cukup untuk
melihat ini, perlu ditarik lebih tinggi- dan lebih tinggi lagi – sampai
mentog pada ketinggian Arsy-nya Allah. Bagaimana ‘potret dunia’ bila
dilihat dari ketinggian Arsy-nya Allah ? Semuanya menjadi kelihatan
kecil !
Dunia
dari Arsy-ya Allah – yang seluk beluknya menjadi semua kelihatan inilah
yang antara lain Allah gambarkan lengkap di dalam Al-Qur’an. Semua yang
kita kejar siang malam di dunia untuk meraihnya ‘ …wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dari emas, perak, kuda pilihan, hewan terak, sawah ladang…’ (QS 3:14), semua ini tidak seberapa.
Ada yang lebih baik dari itu semua, yaitu ‘…orang yang sabar, yang benar, yang taat, yang berinfaq dan yang mohon ampun di waktu sahur…’
(QS 3 ; 17). Lantas apa mau kita menukar segala keindahan dunia dengan
yang lebih baik ini ? Jarang dari kita yang mau, mengapa ? ya karena
kita tidak mau melihat dunia dari ketinggian Arsy-nya Allah.
Sama
dengan Presiden Korea Utara tersebut di atas, meskipun jauh tertinggal
di belakang dari Korea Selatan – maukah dia mengikuti pola pikir
saudaranya Korea Selatan ? Sampai sekarang dia tidak mau, karena dia
tidak mau melihat negerinya di malam hari dari satellite, karena
kesombongannya, karena nafsunya untuk berkuasa sampai ke anak cucu.
Kalau
saja kita bisa terus belajar untuk berpola pikir dan berpola pandang –
melihat urusan dunia dari ketinggian Arsy-nya Allah, maka tidak akan ada
masalah yang tidak terselesaikan – karea Dia menjamin, dengan KitabNya
semua persoalan ada jawabannya (QS 16:89).
Saya ambil satu kasus kemiskinan misalnya. Di gerbang ibu kota, hanya dua jam dari pusat kota Jakarta bila tidak macet –
saya menjumpai masyarakat yang sangat miskin. Rumah-rumah mereka
terbuat dari gedeg yang bahkan tidak lagi utuh, lantainya masih dari
tanah, tidak ada MCK, dan di malam hari gelap gulita – karena listrikpun
belum sampai rumah mereka, dan kalau toh sampai juga tidak mampu
membayarnya.
Masalah
ini sudah berlangsung 72 tahun, tujuh presiden berganti – dan belum ada
yang memberikan solusi. Mengapa ? karena semuanya melihat ruwetnya
masalah yang ada di pelupuk matanya – kemudian menghindar dari
menyelesaikannya, saking ruwetnya.
Apa
yang salah yang menjadi sumber penyebab kemiskinan ini ? Karena
kecintaan manusia untuk ‘memiliki’ atau menguasai bumi ini. Lahan-lahan
dikuasai oleh pihak tertentu, bahkan diperebutkan antar pihak – tetapi
mereka tidak berusaha memakmurkannya, tidak mau mengentaskan kemiskinan
rakyat yang tinggal di tanah-tanah tersebut.
Para
petani miskin yang hanya mengantongi hak garap yang tidak jelas di
tanah siapa ini, mereka dibiarkan sendirian menghadapi cuaca ekstrem
yang silih berganti, sendirian menghadapi
tengkulak yang mencekik harga panenan mereka kalau toh ada panenan, dan
sendirian pula menghadapi ganasnya para rentenir.
Semua
solusinya ada lengkap di syariat agama ini, tentang pengelolaan lahan,
tentang menyikapi musim, tentang tidak bolehnya tengkulak, tentang
larangan riba – tetapi siapa yang peduli ? lha wong semua orang sibuk
mengurusi kepentingan diri sendiri.
Masalahnya
menjadi tambah runyam dengan hadirnya kepentingan politik, hadirnya
berbagai oknum yang mengatas namakan pihak atau kelompok-kelompok
tertentu yang berkepentingan – maka orang-orang miskin inipun menjadi
objek kampanye, yang hanya dikunjungi di musim Pilkada atau Pemilu,
setelah itu dilupakan lagi.
Entah
kapan dan oleh siapa penduduk-penduduk miskin tersebut akan ada yang
mengurus dan mengangkatnya, yang jelas masalah besar ini justru tidak
nampak karena dia berada di pelupuk mata kita. Tidak cukup dilihat dari
helicopter view ataupun satellite view, perlu dilihat dari Arsy-nya
Allah melalui petunjukNya yang sudah turun ke genggaman kita.
Tetapi
ini butuh iman yang sedemikian rupa, iman yang sampai mengantarkan kita
lebih percaya kepada Allah lebih dari apa yang ada di genggaman kita,
lebih dari apa yang bisa dilihat oleh mata kita. Pada tingkat iman
inilah kita akan percaya bahwa Allah senantiasa akan menolong hambaNya
selagi dia menolong saudaranya. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar