Satellite View and Beyond

Sabtu, 22 April 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Orang Indonesia punya cara yang baik untuk menggambarkan masalah besar di depan mata yang justru tidak kelihatan, yaitu dengan ungkapan ‘gajah di pelupuk mata’. Senada dengan ini, dalam bahasa Inggris ada ungkapan ‘helicopter view’ – yaitu melihat sesuatu dari ketinggian atau kejauhan supaya yang semula tidak nampak menjadi nampak semua sisi-sisinya. Kalau kita tarik terus ke atas, dengan ‘satellite view’ kita akan bisa melihat scope yang lebih besar besar lagi. Bagaimana kalau terus kita tarik ke atas lagi, apa yang akan kita lihat ?


Korea In The Night
Pada tingkatan satellite view saja kita sudah bisa melihat masalah yang sangat besar, yang tidak nampak bila dilihat dari daratan. Misalnya adalah masalah Korea Utara dibandingkan dengan Korea Selatan, dua negeri ini nampak jelas sekali perbedaannya bila dilihat dari satellite khususnya di malam hari.

Dengan suku bangsa yang sama, bahasa yang sama – Korea Selatan amat sangat maju dibandingkan dengan saudaranya Korea Utara. Ini nampak dari gemerlapnya lampu di malam hari Korea Selatan, didandingkan dengan pekatnya malam – yang membuat Korea Utara nyaris tidak nampak, hanya bahwa itu sebuah negeri daratan bila diberi garis batas .

Apa yang membuat Korea Utara begitu jauh tertinggal dari saudara kandungnya Korea Selatan ? Penyebabnya adala pola pikir komunis yang tidak kondusif untuk mendorong kemajuan berpikir, berusaha, beraktivitas ekonomi, berinovasi, bebas mengungkapkan ide dlsb. Intinya tidak mendorong orang untuk menggunakan kebebasan berpikirnya untuk memakmurkan bumi ini, itulah yang membuat Korea Utara gelap gulita di malam hari – tanda tiadanya kemampuan untuk mengikuti kemajuan jamannya.

Ini baru untuk urusan dunia, bagaimana untuk urusan yang lebih luas dan lebih panjang dari urusan dunia ? satellite view-pun tidak cukup untuk melihat ini, perlu ditarik lebih tinggi- dan lebih tinggi lagi – sampai mentog pada ketinggian Arsy-nya Allah. Bagaimana ‘potret dunia’ bila dilihat dari ketinggian Arsy-nya Allah ? Semuanya menjadi kelihatan kecil !

Dunia dari Arsy-ya Allah – yang seluk beluknya menjadi semua kelihatan inilah yang antara lain Allah gambarkan lengkap di dalam Al-Qur’an. Semua yang kita kejar siang malam di dunia untuk meraihnya ‘ …wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dari emas, perak, kuda pilihan, hewan terak, sawah ladang…’ (QS 3:14), semua ini tidak seberapa.

Ada yang lebih baik dari itu semua, yaitu ‘…orang yang sabar, yang benar, yang taat, yang berinfaq dan yang mohon ampun di waktu sahur…’ (QS 3 ; 17). Lantas apa mau kita menukar segala keindahan dunia dengan yang lebih baik ini ? Jarang dari kita yang mau, mengapa ? ya karena kita tidak mau melihat dunia dari ketinggian Arsy-nya Allah.

Sama dengan Presiden Korea Utara tersebut di atas, meskipun jauh tertinggal di belakang dari Korea Selatan – maukah dia mengikuti pola pikir saudaranya Korea Selatan ? Sampai sekarang dia tidak mau, karena dia tidak mau melihat negerinya di malam hari dari satellite, karena kesombongannya, karena nafsunya untuk berkuasa sampai ke anak cucu.

Kalau saja kita bisa terus belajar untuk berpola pikir dan berpola pandang – melihat urusan dunia dari ketinggian Arsy-nya Allah, maka tidak akan ada masalah yang tidak terselesaikan – karea Dia menjamin, dengan KitabNya semua persoalan ada jawabannya (QS 16:89).

Saya ambil satu kasus kemiskinan misalnya. Di gerbang ibu kota, hanya dua jam dari pusat kota Jakarta bila tidak macet –
Things To Do ...
saya menjumpai masyarakat yang sangat miskin. Rumah-rumah mereka terbuat dari gedeg yang bahkan tidak lagi utuh, lantainya masih dari tanah, tidak ada MCK, dan di malam hari gelap gulita – karena listrikpun belum sampai rumah mereka, dan kalau toh sampai juga tidak mampu membayarnya.

Masalah ini sudah berlangsung 72 tahun, tujuh presiden berganti – dan belum ada yang memberikan solusi. Mengapa ? karena semuanya melihat ruwetnya masalah yang ada di pelupuk matanya – kemudian menghindar dari menyelesaikannya, saking ruwetnya.

Apa yang salah yang menjadi sumber penyebab kemiskinan ini ? Karena kecintaan manusia untuk ‘memiliki’ atau menguasai bumi ini. Lahan-lahan dikuasai oleh pihak tertentu, bahkan diperebutkan antar pihak – tetapi mereka tidak berusaha memakmurkannya, tidak mau mengentaskan kemiskinan rakyat yang tinggal di tanah-tanah tersebut.

Para petani miskin yang hanya mengantongi hak garap yang tidak jelas di tanah siapa ini, mereka dibiarkan sendirian menghadapi cuaca ekstrem yang silih berganti, sendirian  menghadapi tengkulak yang mencekik harga panenan mereka kalau toh ada panenan, dan sendirian pula menghadapi ganasnya para rentenir.

Semua solusinya ada lengkap di syariat agama ini, tentang pengelolaan lahan, tentang menyikapi musim, tentang tidak bolehnya tengkulak, tentang larangan riba – tetapi siapa yang peduli ? lha wong semua orang sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri.

Masalahnya menjadi tambah runyam dengan hadirnya kepentingan politik, hadirnya berbagai oknum yang mengatas namakan pihak atau kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan – maka orang-orang miskin inipun menjadi objek kampanye, yang hanya dikunjungi di musim Pilkada atau Pemilu, setelah itu dilupakan lagi.

Entah kapan dan oleh siapa penduduk-penduduk miskin tersebut akan ada yang mengurus dan mengangkatnya, yang jelas masalah besar ini justru tidak nampak karena dia berada di pelupuk mata kita. Tidak cukup dilihat dari helicopter view ataupun satellite view, perlu dilihat dari Arsy-nya Allah melalui petunjukNya yang sudah turun ke genggaman kita.


Tetapi ini butuh iman yang sedemikian rupa, iman yang sampai mengantarkan kita lebih percaya kepada Allah lebih dari apa yang ada di genggaman kita, lebih dari apa yang bisa dilihat oleh mata kita. Pada tingkat iman inilah kita akan percaya bahwa Allah senantiasa akan menolong hambaNya selagi dia menolong saudaranya. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar