Oleh: Muhaimin Iqbal
Seorang pasien datang ke dokter dan diberi resep untuk menyembuhkan penyakitnya, sepekan kemudian dia datang lagi ke dokter tersebut dan mengeluhkan penyakitnya tidak kunjung sembuh. Ketika dokter bertanya “Bukankan sudah aku berikan resep untuk menyembuhkan penyakitmu? Apa yang sudah kamu lakukan dengan resep itu?” Sang pasien menjawab “Saya sudah pahami resep dari Pak Dokter dan bahkan saya sudah menghafalkannya”.
Sang Dokter agak bingung kemudian dia bertanya lagi “Jadi resep
itu cuma kamu pahami dan kamu hafalkan?” Sang Pasien menjawab “Betul
Pak Dokter. Kan Pak Dokter hanya memberi resep. Tidak menyuruh apa-apa
dengan resep ini”. Sang Dokter menepuk jidatnya, “Memang saya hanya
memberi resep itu. Tetapi bukankah kamu tahu apa yang harus kamu lakukan
dengan resep itu? Kamu seharusnya menebus obat dengan resep itu
kemudian mengikuti petunjuknya untuk meminum obatnya sampai kamu sembuh.
Penyakitmu belum sembuh karena upayamu untuk memahami dan menghafal
resep sangat tidak memadai sebagai ikhtiar untuk penyembuhanmu”.
Pada
tingkat ilmu pengetahuan kita telah memiliki hampir segala jenis
perguruan tinggi terbaik di bidang apapun. Namun ilmu pengetahuan saja
ternyata sangat-sangat tidak memadai bila tidak diterapkan secara nyata
untuk mengatasi berbagai persoalan di masyarakat. Kita memiliki
perguruan tinggi dan fakultas-fakultas pertanian terbaik di negeri ini
tetapi baru bicara data produksi beras dan jagung masih simpang siur.
Harga menjadi bergejolak karena ketidak akuratan data suply dan demand.
Kita
memiliki fakultas-fakultas ekonomi terbaik tetapi untuk 260 juta
penduduk negeri ini masih menjadi bulan-bulanan target pasar bagi para
pemasar global untuk produk-produk yang seharusnya bisa secara melimpah
di produksi di dalam negeri.
kita
memiliki perguruan tinggi-perguruan tinggi teknik terbaik, bahkan untuk
memproduksi pesawat pun kita mampu tetapi yang ada di jalan raya
dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan impor dan belum nampak yang
nyata-nyata hasil karya para insinyur kita.
Ini
menunjukkan bahwa pada tataran ilmu yang sangat tinggi sekalipun bila
tidak ditunjang dengan implementasi lapangan yang persisten, ilmu itu
berhenti pada tataran ilmu tidak menjadi solusi atas persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat.
Bahkan yang berusaha mengamalkan ilmu pun tidak dijamin dia langsung berhasil, tanpa melalui serangkaian challenge, ujian
dan bahkan juga bisa dirundung musibah demi musibah. Persisntensi atau
keistiqomahan atau mengamalkan ilmu ini bisa dipelajari dari episode
perjalanan uswatun hasanah kita
di rangkaian surat Ali Imran mulai dari ayat 31-81. Dirangkaian
ayat-ayat tersebut misalnya kepada kita dijanjikan bahwa umat ini adalah
umat yang tertinggi derajatnya bila kita benar-benar beriman (Q.S 3:
139).
Tetapi
tidak serta merta bahwa kita menjadi umat yang tertinggi, dan ini
diindikasikan antara lain melalui peletakan ayat 139 tersebut. Ayat ini
diapit oleh ayat 138 yang mensyaratkan penggunaan Al Qur’an sebagai
petunjuk dan mauidhoh atau
pelajaran yang kuat. Sedangkan rangkaian ayat sesudahnya bercerita
tentang serangkaian cobaan demi cobaan, ujian demi ujian sebelum
akhirnya membuktikan umat ini adalah umat yang unggul. Bahkan ketika
generasi terbaik berperang didampingi langsung oleh Nabi Muhammad SAW
dalam perang Uhud, umat ini bisa kalah. Bisa dibanyangkan di generasi
kita betapa beratnya untuk kembali mengunggulkan umat ini tanpa adanya
keistiqomahan dalam mengamalkan petunjuk-petunjukNya. Dalam perang Uhud
umat Islam kalah karena Allah SWT hendak membuktikkan siapa yang
benar-benar beriman dan memberi kesempatan sebagian orang yang beriman
tersebut untuk mati syahid (Q.S 3: 140). Kekalahan itu juga untuk
mensucikan orang-orang yang beriman dan membinasakan orang-orang tidak
beriman (Q.S 3: 141). Kekalahan tersebut juga untuk memberi pelajaran
kepada orang-orang yang beriman agar mereka tidak sekedar berandai-andai
akan masuk surga sebelum benar-benar diuji siapa yang sungguh-sungguh
berjuang di jalanNya dan sungguh-sungguh bersabar Q.S 3: 141-142).
Jadi
dari rangkaian ayat tersebut kita bisa belajar bahwa ilmu apapun
termasuk ilmu Al Qur’an, pertama yang jelas tidak cukup hanya di pahami
dan dihafalkan. Ilmu-ilmu tersebut menuntut pengamalan agar dia
benar-benar bisa menjadi solusi. Yang kedua, bahkan ketika ilmu-ilmu
tersebut diamalkan tidak serta merta akan berjalan mulus. Sehingga bagi
para pengamal ilmu ini juga harus sangat siap menghadapi segala macam
tantangan, cobaan dan bahkan juga kegagalan dalam sudut pandang manusia.
Allah
SWT bahkan sudah mensinyalir akan adanya orang-orang yang frustrasi
dalam pengamalan ilmunya sampai-sampai mereka berucap “…Sekiranya ada sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) disini…” (Q.S 3: 154).
Dan
bagi para penonton bola yaitu orang-orang yang tidak berusaha
mengamalkan ilmunya, mereka hanya bisa berkomentar dan berandai-andai
dengan berkata “…Sekiranya mereka tetap bersama kita, tentulah mereka tidak mati dan tidak terbunuh…” (Q.S 3: 156).
Jadi
“obat” jelas tidak cukup hanya dihafalkan dan dipahami, bahkan ketika
di amalkan juga bukan obat itu yang menentukan kesembuhan. Tetapi hanya
Dia yang bisa menyembuhkan. Demikian pula dengan segala penyakit dan
persoalan kehidupan dibutuhkan ikhtiar yang istiqomah secara maksimal
untuk mengamalkan petunjuk-petunjukNya. Bagi para pengamal tidak boleh
berputus asa dan bagi para penonton tidak bisa men-judge
apakah suatu amal itu berhasil atau gagal karena hanya Dialah yang
menentukan dan mengetahui hakekat keberhasilan atau kegagalan itu,
pengetahuan manusia hanyalah Djon
semata yang dikiranya benar bisa saja itu keliru dan sebalikanya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk kita dan menjaga ke
istiqomahan kita dalam mengamalkan petunjuk-petunjukNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar