Agar Visi Bukan Sekedar Mimpi

Jum'at, 20 Februari 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Untuk kesekian kalinya pekan lalu dalam acara Food Security Summit – 3 kita mendengar visi pemerintah, bahwa negeri ini akan bisa swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Visi seharusnya jelas, bisa dijabarkan detil ke dalam misi, strategy dan sampai action plan. Tanpa didetilkan, visi akan lebih mendekati mimpi – dan inilah yang terjadi selama ini. Swasembada pangan dijadikan visi dari satu kampanye ke kampanye, satu pemerintahan ke pemeritahan – tetapi hingga 70 tahun merdeka kita belum juga swasembada pangan.



Lebih dari itu saya juga belum ketemu apa yang dimaksud pemerintah dengan swasembada pangan, tercukupi seluruh  unsur pangan seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral ? atau sekedar cukup karbohidrat ?. Kalau yang di-udeg-udeg sekedar tidak lagi mengimpor beras, maka tidak bisa dihindari kesan bahwa pemerintah baru fokus ke karbohidrat – artinya baru satu dari setidaknya lima unsur pangan.

Walhasil impor beras kadang memang bisa dihentikan atau dikurangi, tetapi impor sapi hidup, impor biji-bijian dan buah-buahan terus meningkat. Lantas bagaimana pemerintah seharusnya men-detilkan visi swasembada pangan tersebut – agar tidak menjadi sekedar mimpi ?

Berikut adalah breakdown dari visi swasembada pangan yang seharusnya bisa dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan yang terkait, termasuk tentu saja aktor utamanya para petani seperti kita-kita.

Pertama agar tidak mengambang, visi swasembada pangan harus didetilkan dalam bentu misi yang jelas – specifik, terukur, bisa dicapai secara wajar, relevan dan berbatas waktu. Misalnya dalam pemerintahan sekarang yang masih punya waktu empat tahun lebih, negeri ini harus bisa mencukupi kebutuhan karbohidrat, lemak yang baik, protein, vitamin dan mineral.

Kemudian masing-masing misi tersebut dijabarkan dalam strategy-nya yang pas. Misalnya pemenuhan karbohidrat utamanya akan dicapai melalui optimalisasi produksi padi di 13.8 juta sawah yang ada. Diberlakukannya moratorium alih fungsi sawah ke penggunaan lainnya, dlsb.

Untuk kebutuhan lemak, sebenarnya sudah bisa dicukupi dengan sekitar 10 juta lahan sawit yang ada. Hanya saja minyak sawit terlalu tinggi komponen Saturated Fatty Acid-nya (SFA), sehingga konsumsi minyak sawit bisa diturunkan dengan mengekspor sebgian besar produksinya.

Secara bertahap untuk menyehatkan rakyat dalam jangka panjang, konsumsi lemak atau minyak diarahkan ke jenis minyak yang tinggi Mono Unsaturated Fatty Acid (MUFA)-nya. Salah satunya yang tumbuh sangat baik di negeri ini, di tanah tegalan yang tidak/belum terlalu subur sekalipun adalah minyak kacang tanah.  Selain rendemen minyaknya tinggi (di atas 40 %), minyak kacang tanah mengandung MUFA yang tinggi pula (sekitar 50% dari unsur minyaknya).

Kebutuhan protein karena terbukti berat memenuhinya dari protein hewani, strategi pemenuhannya dapat difokuskan pada protein nabati khususnya kedelai. Selain rendemen proteinnya yang tinggi (sekitar 36 %), protein kedelai juga memiliki kandungan asam amino esensial yang paling lengkap – bahkan lebih lengkap dari daging.

Protein nabati dari kedelai juga sangat terjangkau dengan unit cost-nya yang sangat rendah yaitu di kisaran Rp 28/gram satuan protein murni. Bandingkan ini dengan protein hewani dari daging yang berada di kisaran Rp 300/gram satuan protein murni.

Bagaimana kita bisa menanam kedelai cukup, sedangkan selama ini pemenuhan kebutuhan kedelai kita-pun sudah lebih banyak yang kita impor ? Memang harus ada keseriusan pemerintah untuk mendorong dan memberi insentif para petani dan pihak-pihak lain yang mau menggarap kedelai secara intensif di negeri ini.

Potensi lahannya ada, yaitu sebagian kecil saja dari tanah terlantar kita yang konon lebih dari 12.5 juta hektar – akan cukup untuk gerakan menanam kedelai ini. Sedangkan bibit dan knowledge untuk menanam kedelai lokal ini insyaAllah masih ada di masyarakat petani kedelai kita – tinggal menyebar luaskannya kembali.

Untuk pemenuhan sumber-sumber vitamin dan mineral, negeri tropis seperti Indonesia sudah seharusnya menjadi jagonya. Aneka ragam buah tropis nan eksotis seharusnya menjadi kekayaan yang bukan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral rakyat, bahkan seharusnya menjadi daya tarik wisatawan asing dan ekspor dari negeri tropis ini.

Buah apa saja tumbuh di negeri ini, yang diperlukan tinggal memfasilitasinya agar terbangun sentra-sentra produksi buah yang cukup massif untuk mampu menghadang serbuan buah impor.

Tetapi memang kita tidak bisa terlalu banyak mengandalkan pemerintah dalam swasembada pangan ini, karena kecukupan pangan dari atas kepala dan dari bawah kaki kita hanya akan tercapai bila kita bener-bener menjalankan petunjuk/hukumNya (QS 5 : 66).

Bahwasanya hingga saat ini pemerintah kita belum menggunakan petunjuk atau hukumNya itu nampak jelas sekali dengan apa yang dilakukan presiden kita pada saat pembukaan Food Security Summit tersebut di atas. Presiden membuka acara tersebut dengan menumbuk alu tujuh kali !

Di jaman ultra modern sekarang ini menjadi aneh menyaksikan pagelaran niat bangsa besar untuk mencukupi pangannya dengan menumbuk alu, tidak ada penalaran ilmiahnya – apalagi dari sisi keimanan. Akan lebih masuk akal misalnya bila acara seperti ini diawali dengan membaca ayat-ayat petunjukNya yang relevan sambil mentadaburinya.

Mengapa misalnya ketika Allah memerintahkan kita untuk memperhatikan makanan kita – dimulai dengan biji-bijian dan diakhiri dengan ternak (QS 80 : 24-32), bila saja kita bisa memahami makna dari perintah ini dan kemudian bener-bener melaksanakannya – maka insyaAllah swasembada pangan itu akan bisa bener-bener menjadi visi yang terwujudkan, bukan sekedar mimpi yang terus berkesinambungan dengan mimpi berikutnya. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar