Pro Bono

Selasa, 31 Maret 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Sejak saya mengangkat tema prinsip 1/3 hampir tujuh tahun lalu, banyak saya menjumpai orang-orang yang berusaha menerapkannya. Namu lebih banyak lagi yang mentertawakannya dengan phrase yang kurang lebih “seratus persennya saja belum cukup, apalagi bila dikurangi 1/3-nya untuk infaq”. Maka melalui tulisan ini saya ingin mendekatinya dengan cara yang sangat mungkin dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Saya menggunakan pendekatan yang di dunia professional dikenal dengan istilah Pro Bono. 


Pro Bono adalah kependekan dari bahasa latin Pro Bono Publico yang artinya kurang lebih pekerjaan professional yang dilakukan dengan sukarela, tanpa bayaran atau dengan bayaran dibawah standard profesi tersebut. Yang memulai memasyarakatkan umumnya adalah para lawyer, namun belakangan diikuti pula oleh dokter, arsitek, konsultan dlsb.

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak para professional yang lain lagi untuk juga mau bekerja secara  Pro Bono, yaitu para professional penjualan. Well, tidak harus Anda yang sudah professional di bidang penjualan ini – justru kita ingin mengajak yang awam sekalipun untuk menjadi para penjual yang professional.

Mengapa kemampuan menjual ini sangat penting untuk dikuasai (kembali ) oleh umat, karena Islam dahulu turun dikalangan para pedagang di Mekkah. Antara lain karena profesinya ini pula mereka ringan kaki ketika diperintahkan untuk berhijrah. Bayangkan kalau perintah hijrah turun kepada kami para petani, atau kepada Anda para pegawai – berat bukan untuk melaksanakannya ?, akan nunggu panen, perlu ijin atasan dlsb !

Demikian pula Islam dibawa ke Nusantara ini oleh para pedagang. Begitu kuatnya perdagangan Islam ini sampai tercatat dalam sejarah ketika di abad 18, VOC yang berbahasa belanda dan bertulisan latin – mendapatkan ijin mengeluarkan uang untuk Jawa Besar dari Mataram yang berbahasa dan bertulisan jawa – uang itupun dibuat berbahasa  arab dan ditulis dengan tulisan arab yang berbunyi Derham Min Kumpeni Welandawi , yang artinya kurang lebih  Dirham dari Kumpeni untuk Jawa Besar.

Ketika negeri ini sudah hampir dua abad kemudian terjajah oleh Belanda, awal perlawanan juga datang kembali dari para pedagang Islam yang bergabung dalam Syarikat Dagang Islam.

Dengan rangkaian sejarah sejak Islam turun hingga kebangkitan awal gerakan kemerdekaan kita itulah, maka kini kita juga ingin bangkit kembali berjaya dengan memulai membangkitkan jiwa berdagang kita – agar kita tidak terus menjadi minoritas di kala jumlah yang masih mayoritas.

Bagaimana kita akan membangkitkan kembali jiwa berdagang kaum muslimin ini secara terstruktur, sistematis dan massif ? yang kami lakukan adalah dengan membentuk Masyarakat Penjual, namun karena kita dari awal ingin berbeda dengan Masyarakat Penjual lainnya yang murni untuk kepentingan komersial – maka Masyarakat yang kami bentuk tersebut kita beri nama Masyarakat Penjualan dan Berbagi – atau bahasa kerennya Sale and Share Society, siapa tahu kelak akan mendunia Insyaallah.

Society (Masyarakat) ini agak berbeda dengan Community (Komunitas), karena di Society ada standar tertentu bagi para anggotanya. Maka di Sale and Share Society ini standar itu adalah professionalism dalam bidang penjualan yang akan terus diasah melalui program Continuing Professional Development (CPD), terus diasah pula kerelaannya untuk berbagi dengan berbagai aktivitas yang nyata di lapangan.

Untuk awalnya exercise nyata bagi Sale and Share program  ini akan kami beri contoh pada penyebar luasan kurma di negeri ini. Mengapa kurma ? karena ini produk yang sederhana sehingga mudah untuk dijadikan proses pembelajaran.

Kedua kita bisa belajar dari bagaimana negeri ini mulai makan mie instan. Bahannya impor, belum ada tanda-tanda produksi dalam negeri, kandungan gizinya minim tetapi bisa begitu massif di masyarakat – hingga seolah tiada rumah tanpa mie instan, tiada bantuan sosial yang tidak melibatkan mie instan dst.

Diajari para pengiklan untuk makan mie instan, tidak sampai setengah abad – kita sudah serta merta menjadi bangsa pemakan mie instan. Kok bisa ? karena para pemasarnya mereka memiliki segala yang dibutuhkannya untuk membuat mie instan menyebar ke seluruh pelosok tanah air – begitu pula kampanyenya melalui televisi-televisi , radio dan papan reklame.

Nah kita diajari uswatun hasanah kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui hadits yang sahih untuk membiasakan makan kurma tujuh butir setiap pagi hari agar racun dan sihir tidak merasuki tubuh kita. Kita diajari pula oleh beliau untuk selalu ada kurma di rumah karena rumah yang ada kurmanya tidak akan kelaparan, siapa yang mempraktekkan ajaran beliau ini di negeri yang mayoritas muslim ini ? sangat minim, pasti amat sangat jauh dari yang selalu sedia mie instan di rumahnya !

Lebih dari itu kita diajari oleh Allah dalam Al-Qur’an melalui pengucapan Malaikat Jibril kepada Siti Maryam di puncak kegalauannya : “… fakulii wasyrabii waqarrii ‘aina… makanlah minumlah dan berbahagialah…”, apa yang kita lakukan ketika kita lagi galau, kehilangan semangat dan motivasi hidup ? makan kurmakah ? saya rasa sangat jarang yang sekedar mau mencoba menerapkannya.

Ajaran yang begitu Indah dari Sang Maha Pencipta dan contoh terbaik kita – uswatun  hasanah, namun kita tidak jalankan di lapangan – mengapa ? karena kita belum berusaha  menjalin infrastruktur penyebar luasannya. Kita tidak punya kebunnya, pabriknya dan segala dana untuk kampanye-nya. Namun ini semua tidak menjadi keharusan di era teknologi informasi  dan social media sekarang ini.

Maka melalui gerakan inilah yang nantinya solusi berbasis Al-Qur’an dan hadits-hadits yang sahih itu bisa diterapkan secara massif di masyarakat. Contoh konkrit ini akan menjadi exercise untuk pengamalan  ayat dan hadits-hadits tersebut di atas termasuk hadits 1/3 yang kita eager untuk mengamalkannya – tetapi selama ini belum tahu bagaimana bentuknya, melalui program inilah kita belajar bersama untuk melakukannya.

Sambil menunggu kurma yang kita tanam rame-rame berbuah pada waktunya kelak, tidak masalah sementara kita pasarkan kurma impor dahulu – sehingga pada waktunya kita panen – kita sudah punya pasarnya. Bila ini tidak kita lakukan, yang sebaliknya akan terjadi – yaitu pada saat panen belum ada pasar.

Inti dari exercise perdana dalam Sale and Share ini adalah setiap kita menjual 10 kurma, tujuh butir dihargai penuh – karena diharapkan para pembelinya bisa mengamalkan hadits tentang tujuh butir kurma tersebut di atas. Yang 3 butir dijual separuh harga, dengan target untuk diinfaqkan. Infaq 3 butir tersebut adalah patungan antara pembeli – yang membeli separuh harga, dan seluruh jajaran tenaga kerja yang terlibat sejak produksi pengemasan sampai penjualan – yang menggratiskan tenaga kerjanya atau Pro Bono !

Pro Bono Untuk Penjualan Kurma
Harga untuk 7 butir-nya normal – tidak kena beban dari 3 yang diinfaqkan. Pembeli berkesempatan berinfaq 3 butir kurma yang sama dengan harga separuh – karena seluruh jajaran tenaga kerjanya menginfaqkan waktu dan professionalism-nya untuk yang 3 butir ini.

Bayangkan kalau system ini bekerja, Anda akan terbiasa bekerja penuh 100 %, tetapi yang 30 %-nya Anda niatkan untuk orang lain yang membutuhkannya. Bayangkan bila teknik Sale and Share ini bisa mewabah bukan hanya untuk jualan kurma, tetapi jualan segala macam kebutuhan lainnya – termasuk jualan property ! maka niat kita untuk bisa membangun masjid-masjid yang layak di setiap kanan dan kiri jalan-jalan utama di kota-kota besar dan kecil Indonesia – insyaAllah akan ada jalannya untuk terkabul.


Perjalanan ribuan mile, harus dimulai pula dari satu dua langkah awal – maka inilah salah satu dari langkah awal tersebut. Bagi Anda yang ingin bergabung di Sale and Share Society, yang dimulai dari program seven dates atau tujuh kurma ini – Anda sudah bisa mendaftar langsung melalui form yang ada di link ini,  atau melalui menu registrasi di www.7kurma.com . Peluncurannya insyaAllah di bulan Mei  - sebelum Ramadhan 1436 H - dan hanya yang mendaftar yang diundang. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar