Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika kita masih polos di waktu kecil dahulu, rata-rata kita punya cita-cita yang tinggi untuk kelak ingin MENJADI apa saja yang kita bisa bayangkan saat itu. Ketika cita-cita itu nyaris tercapai, kita selesai kuliah – justru saat itulah kebanyakan cita-cita untuk MENJADI itu buyar – kita berubah pragmatis dan cita-cita untuk MENJADI (being) itu berubah ke sekedar ingin MEMILIKI (having). Karena manusia dewasa kebanyakan fokus untuk MEMILIKI bukan fokus untuk MENJADI, maka dari sinilah pangkal begitu banyak persoalan dalam hidup ini muncul.
Setelah empat tahun susah-susah menempuh pendidikan di bidang tertentu, para sarjana ngawur mencari
pekerjaan apa saja asal bisa segera MEMILIKI gaji yang tinggi untuk
kemudian bisa segera pula MEMILIKI rumah, mobil dlsb. Dia melupakan
cita-cita masa kecilnya dahulu untuk MENJADI apa saja yang dia inginkan.
Kita
saksikan juga di berita-berita bahwa para politikus muda cemerlang,
bahkan tidak jarang mereka ini adalah pimpinan puncak partai—partai
bergengsi, laju karirnya justru disabot oleh dirinya sendiri karena
orientasinya berubah dari yang semula ingin MENJADI ke sekedar ingin
MEMILIKI.
Keinginan
untuk MEMILIKI membuat manusia serakah dan melupakan tujuan hidupnya
semula. Contoh kasus keinginan untuk MEMILIKI ini di Al-Qur’an antara
lain digambarkan di ayat berikut :
“Sesungguhnya
saudaraku ini MEMILIKI sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan
aku MEMILIKI seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu
kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan". (QS 38:23)
Nafsu
untuk MEMILIKI pula yang membuat pengembang-pengembang besar menggusur
tanah rakyat kecil untuk kemudian menjadikannya gedung-gedung, apartemen
dan rumah mewah untuk di-MILIKI oleh orang-orang kaya saja.
Perusahaan-perusahaan raksasa memonopoli dan mencengkeram pasar agar
mereka MEMILIKI pangsa pasar yang semakin besar – agar para pelakunya
bisa MEMILIKI apa saja yang mereka inginkan dari segaka macam kekayaan
dan kenikmatan duniawi.
Sebesar apapun perusahaan, para pemilik dan eksekutifnya tidak akan pernah MENJADI qana’ah – tidak pernah merasa cukup dengan yang ada. Mereka akan terus berlomba-lomba mengejar growth dengan cara apapun yang bisa mereka lakukan. Begitulah bila kehidupan ini di-drive oleh keinginan untuk MEMILIKI lebih dari keingian untuk MENJADI.
Sebaliknya,
petunjuk kita di Al-Qur’an sebenarnya banyak sekali menekankan kita
untuk MENJADI – dan bukan untuk MEMILIKI. Kita diberi petunjuk untuk
MENJADI orang beriman, MENJADI orang yang bertaqwa, MENJADI shaleh,
MENJADI umat pilihan, MENJADI
orang-orang rabbani, MENJADI pemimpin, MENJADI orang baik, MENJADI orang
alim dan bahkan di sejumlah ayat disebutkan untuk MENJADI khalifah dan
MENJADI pemakmur bumi.
Dalam
tulisan ini agar tidak terlalu panjang saya akan elaborasi di yang
terakhir saja, yaitu diciptakan olehNya kita untuk menjadi khalifah (QS
2:30) dan pemakmur bumi (QS 11:61). Mengapa di bumi yang seharusnya
makmur ijo royo-royo ini
penduduknya tidak kunjung makmur ? Ya karena tujuan hidup kebanyakan
kita tersabot oleh diri kita sendiri, yang seharusnya untuk MENJADI
berubah ke sekedar untuk MEMILIKI.
Memakmurkan
bumi itu kerja berat, kerja lama bisa bertahun-tahun baru memberikan
hasil. Para pemimpin mana yang sabar melakukan pekerjaan yang demikian
karena tidak segera ketahuan hasilnya, tidak segera populer untuk
pemilihan berikutnya, tidak segera meningkatkan kekayaan pribadinya
untuk bisa segera MEMILIKI ini dan itu.
Para
sarjana baru – bahkan para sarjana pertanian-pun sangat-sangat sedikit
yang mau melakukan pekerjaan berat memakmurkan bumi ini – juga karena
alasan yang sama, yaitu tidak membuat mereka bisa segera MEMILIKI ini
dan itu.
Memang
pekerjaan memakmurkan bumi itu bisa sangat luas, tetapi dalam konteks
tulisan ini saya artikan harfiah – yaitu mengolah bumi untuk bisa
menghadirkan kemakmuran bagi seluruh penghuninya. Karena kegagalan kita
mengolah bumi yang sangat subur inilah yang membuat negeri ini belum
berhasil memakmurkan penduduknya meskipun sudah berusaha selama 69 tahun
sejak kemerdekaan.
Bayangkan kita hidup di negeri tropis – negeri yang dikarunia begitu banyak kekayaan biodiversity
– tetapi sekitar 55 juta petani kita rata-rata hidup miskin. Apanya
yang salah ? lagi-lagi karena orang-orang pinternya, para pemimpinnya –
buru-buru ingin MEMILIKI.
Negeri
yang seharusnya dengan mudah swasembada daging dan susu karena
melimpahnya hijauan kita untuk tempat penggembalaan yang terbaik menurut
Al-Qur’an (QS 16 :10-11), orang-orang pinter dan para pemimpin di
bidang ini malah salah duga dengan mengira sumber daging dan susu
terbaik itu ada di negeri-negeri lain yang memiliki padang rumput yang
luas – sehingga mereka lebih suka impor saja – agar segera MEMILIK !
Negeri
tropis di pusat katulistiwa yang orang-orang di negeri lain memimpikan
eksotisme-nya antara lain pada kekayaan dan keanekaragaman
buah-buahannya – eh kita yang di negeri tropis ini malah gemar sekali
mengimpor buah dari negeri lain !
Seharusnya
kita menjadi negeri pengekspor segala macam buah-buahan karena
eksotisme buah-buahan tropis yang tidak dimiliki oleh sebagian besar
negeri-negeri lain di dunia – bukan malah terbalik menjadi pengimpornya.
Lantas
bagaimana kita bisa mengembalikan fitrah kita yang sesungguhnya yaitu
MENJADI khalifah/pemimpin dan pemakmur bumi ? kita lupakan dahulu
keinginan kita untuk MEMILIKI, kita fokuskan untuk MENJADI dahulu.
Allah
yang MENJADI-kan kita khalifah dan pemakmur bumi, Dia Yang Maha Tahu
dan Maha Adil pasti Dia memberikan sarana dan ilmuNya. Hanya saja sarana
dan ilmuNya ini tentu hanya diberikan kepada yang menyanggupi
penugasanNya tersebut. Kalau dari awal kita sudah tidak sanggup – karena
buru-buru ingin MEMILIKI tersebut di atas – ya untuk apa diberi sarana
dan ilmuNya ? lha wong tidak digunakan.
Saya
punya pegawai di rumah, saya minta dia memelihara tanaman di halaman
rumah – manusia penuh kelemahan ini saja tahu bahwa agar pegawai saya
tersebut bisa melaksanakan tugas yang saya berikan – saya harus
mengajari dia cara merawat tanaman tersebut (ilmunya) dan untuk itu dia
perlu segala macam peralatan yang harus saya sediakan (sarananya).
Demikianlah
ilmu Allah untuk memakmurkan bumi itu ada di depan mata kita, sarananya
juga melimpah di sekitar kita – tetapi ini semua hanya akan dapat
dilihat oleh orang-orang yang sanggup menerima penugasanNya untuk
memakmurkan bumi ini.
Agroforestry
Untuk
bisa melihat ilmu dan sarana yang diberikan oleh Allah ini setelah kita
meluruskan niat kita untuk MENJADI tersebut di atas, kita juga harus
tindak lanjuti dengan keseriusan kita menggali petunjuk-petunjukNya dan
terus mengasah keterampilan kita dalam memahaminya sekaligus
mengamalkannya terus menerus di lapangan.
Maka
dengan sedikit ilmu yang sudah mulai kami gali dua tahun terakhir –
yaitu ilmu memakmurkan bumi dengan petunjukNya – yang kami sebut kebun
Al-Qur’an, dan sedikit sarana yang juga sudah ada di kami berupa
laboratorium pembibitan, penggembalaan dan kebun percobaan – kami ingin
berbagi dengan tenaga-tenaga terdidik muda dari mana saja (tidak harus
dari Indonesia, karena penugasan kita adalah untuk memakmurkan bumi –
bukan hanya Indonesia ! ) dalam program yang kami sebut Agroforestry Apprenticeship Program (AAP) atau program magang di bidang agroforestry.
Syarat peserta adalah memiliki passion
untuk MENJADI tersebut diatas – dan tidak tergoda untuk segera MILIKI.
Diutamakan sarjana dari segala bidang ilmu dan usia maksimal 30 tahun.
Program ini gratis termasuk akomodasi ala kadarnya di pesantren dan
konsumsi selama tinggal di pesantren kami di Jonggol.
Program
standarnya tiga bulan namun bisa diperpendek atau diperpanjang sesuai
kebutuhan. Inti programnya adalah mengasah keterampilan (skills) , jadi
mayoritasnya adalah praktek dengan sebelumnya dibekali ilmu-ilmu yang
terkait. Karena di antara programnya termasuk mengasah aspek ruhiyah dengan tadabur Al-Qur’an, Qiyamul lail dlsb, maka peserta harus menginap di pesantren selama program berlangsung – kecuali hari-hari libur yang disepakati bersama.
Target
lulusan AAP adalah mampu secara independen dan dengan supervisi minimal
mengelola kebun dan memakmurkannya. Tidak ada ikatan apapun bagi
peserta ini, kecuali ikatan moril bahwa dia harus mengamalkan ilmu dan
keterampilan yang dengan susah payah kita akan share ini.
AAP
ini tentu bukan tawaran pekerjaan – jadi kami tidak menjanjikan
pekerjaan setelah peserta lulus program. Yang kami tawarkan adalah
peluang, bahwa setelah lulus AAP peserta insyaAllah mampu menerapkan skills-nya
di mana saja dia mau sehingga bukan hanya cukup untuk menciptakan
pekerjaan bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Meskipun
fokus dari program AAP adalah untuk MENJADI bukan untuk MEMILIKI, tidak
berarti juga peserta akan menderita secara finansial nantinya. Negeri
yang baik – Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur
- dalam Al-Qur’an (QS 34 :15) adalah negeri kebun, maka kalau kita bisa
mewujudkan negeri tersebut – InsyaAllah kemakmuran juga akan datang
kepada kita, bahkan bukan hanya untuk kita para pelakunya tetapi juga
penduduk seluruh negeri.
Peminat
cukup mengirimkan riwayat pendidikannya dan membuat dua atau tiga
lembar tulisan dengan tema “Aku Ingin MENJADI….”, boleh dalam bahasa
Inggris bagi pembaca situs ini dari negeri-negeri jiran.
Dengan
program semacam ini, kami berharap apa-apa yang sudah kami mulai rintis
bisa bener-bener diimplementasikan di lapangan secara Terstruktur,
Systematis dan Masif sehingga kita bisa bener-bener MENJADI para
pemakmur bumi ini tanpa harus MENJADI presiden-pun ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar