Oleh: Muhaimin Iqbal
Ada ironi besar di negeri dengan penduduk mayoritas muslim yang masih 87 % ini, pangsa pasar ekonomi syariahnya masih dibawah 5 % setelah 20 tahun lebih diperjuangkan. Apanya yang salah ? mayoritas penduduk belum peduli dengan syar’i tidaknya suatu produk ? atau cara pengembangannya yang salah selama ini ? Saya melihat keduanya menjadi penyebab. Kalau keduanya diperbaiki, mestinya pangsa pasar ekonomi syariah setidaknya bisa mencapai 87 % hanya dalam periode 10 tahun. Bagaimana caranya ?
Kita sebenarnya tidak perlu re-invent the wheel
untuk terobosan pasar ini, cukup belajar dari contoh yang sudah
sempurna kemudian menirunya sedekat mungkin, maka hasilnya insyaAllah
tidak akan jauh berbeda. Dari mana contoh yang sempurna ini bisa kita
gali ? Dari mana lagi kalau bukan dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kota Yathrib sebelum
menjadi Madinah, ekonominya dikuasai penuh oleh Yahudi. Yahudi yang
datang dari negeri Syam di utara membawa peradaban yang sudah lebih
tinggi dari peradaban orang-orang Arab di Yathrib. Sehingga mulai dari
produk dan pasar semua mereka kuasai.
Tetapi
keuntungan terbesar mereka dari orang-orang Arab adalah dari riba atas
pinjaman-pinjaman berbungan tinggi yang mereka berikan ke para pembesar
Arab waktu itu. Melalui cara-cara seperti inilah mereka menguasai
lahan-lahan pertanian yang subur di Yathrib dan sekitarnya.
Ini
sudah mereka lakukan secara turun temurun lebih dari lima abad lamanya,
sejak mereka terusir dari tanah Palestina – ketika mereka dibunuh dan
diusir oleh bangsa Romawi dari tanahnya antara tahun 70 -132 M. Dalam
perjalanannya ke selatan, setiap ketemu mata air dan tanah subur mereka
melakukan intrik-intrik ribawi untuk akhirnya menguasai lahan-lahan
subur tersebut.
Dari
perjalanan dan intrik-intrik ribawi inilah mereka menguasai Aila,
Maqna, Tabuk, Taima , Wadi Al-Qura, Fadak dan Khaibar. Beberapa suku
diantaranya bani Quraizah, Bani al_Nadir, Bani Bahdal dan Bani Qainuqa
bahkan kemudian menguasai Yathrib dengan cara-cara yang sama.
Kita sekarang di negeri ini mungkin tidak menghadapi Yahudi Zionis in person,
tetapi systemnya-pun cukup untuk mereka menguasai sumber-sumber daya
alam kita dari tambang, hutan, kebun dan tanah-tanah luas, sampai
sumber-sumber air dan energi.
Lantas
bagaimana kita bisa menguasai balik ? umat mayoritas ini bila
memperoleh porsi yang sama saja per capitanya – seharusnya bisa
mengambil balik 87 % dari pasar yang ada ? Ini hanya bisa terjadi bila
kita mengikuti persis contoh yang ada. Dan untuk ini tidak perlu lama,
karena dalam contoh tersebut – membalik penguasaan pasar itu tidak lebih
dari 10 tahun.
Dari full penguasaan ekonomi Yahudi selama berabad-abad di Yathrib, hanya perlu kurang dari 10 tahun menjadi full penguasaan
ekonomi Islam – ketika kota atau negeri itu berubah menjadi Madinah –
yaitu sejak hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Transformasi besar dari penguasaan Yahudi
ke penguasaan Islam ini diceritakan lengkap oleh Allah di surat
Al-Hasyr untuk pengusiran Bani Al-Nadhir dan di surat Al-Fath untuk
penaklukan Khaibar.
Manariknya
adalah prinsip dasar ekonomi Islam bahwa harta harus berputar tidak
hanya di golongan yang kaya tetapi juga harus sampai golongan yang
miskin, juga diletakkan oleh Allah di surat Al-Hasyr ini (QS 59 :7).
Ayat-ayat
awal surat Al-Hasyr ini bercerita tentang proses pengusiran Yahudi,
bagaimana mereka merubuhkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka
sendiri dan tangan kaum muslimin. Juga pelajaran bagaimana mensikapi
atau mengelola harta mereka ketika jatuh ke tangan kaum muslimin.
Ayat-ayat
sesudahnya (sesudah prinsip dasar ekonomi) bercerita tentang betapa
indahnya muamalah antar kaum muslimin yang saling mengutamakan
kepentingan saudaranya. Muamalah yang indah ini antara lain tergambar
dari beberapa hadits di bawah.
Ketika
kaum Muhajirin sudah tiba di Madinah, kaum Anshar ingin membagikan
kebun-kebun dan mata air kepada kaum Muhajirin yang telah
dipersaudarakan dengan mereka oleh Rasulullah Shallallahu’Alaihi
Wasallam . Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam punya saran
yang lebih baik :
“Orang-orang
ini (Muhajirin) tidak tahu cara berkebun, mereka datang dari daerah
yang tidak ada kebun. Apakah tidak sebaiknya kalian (kaum Anshar) tetap
menggarap kebun kalian dan hasilnya saja yang kalian berbagi ?” kaum Anshar kemudian menjawab “Kami mendengar dan kami patuh” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa setelah mendengar jawaban kaum Anshor tersebut, kaum Muhajirin berucap : “Kami
tidak pernah melihat orang yang begitu mengorbankan dirinya seperti
kaum Anshor, mereka yang tetap bekerja dan mereka berbagi hasil dengan
kami. Kami berpikir seluruh pahala pasti untuk mereka”. Mendengar ucapan ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “ Tidak, selama kalian menghargai dan mendoaakan kesejahteraan mereka, kalian juga ikut mendapatkan pahalanya” (Musnad Ahmad).
Setelah
pengusiran Bani Nadhir yang diceritakan di awal surat Al-Hasyr
tersebut, ladang-ladang mereka jatuh ke tangan kaum Muslimin.
Rasulullah-pun membuat penawaran kepada kaum Anshor.
“Sekarang
salah satu pilihan untuk pengelolaannya adalah menggabungkan
lahan-lahan kalian dengan kebun dan mata air yang ditinggalkan Yahudi,
hasilnya kemudian kalian berbagi dengan kaum Muhajirin”. Atau : “Kalian
ambil balik lahan-lahan kalian (yang tadinya dipakai untuk berbagi),
dan kebun-kebun yang ditinggalkan Yahudi untuk kaum Muhajirin”. Kaum Anshor menjawab : “ Tuan,
silahkan dibagi kebun-kebun yang ditinggalkan Yahudi tersebut untuk
kaum Muhajirin, dan juga kebun-kebun kami (tetap) untuk mereka bila Tuan
berkenan”. Mendengar ini Abu Bakar berteriak : “ Semoga Allah memberkahi kalian semua kaum Anshor, dengan segala hal yang terbaik”. (Yahya Bin Adham .Baladhuri – dikutip dari Tafhim Al-Qur’an, Al-Maududi).
Maka
dari rangkaian kisah di Al-Qur’an tentang proses beralihnya peradaban
ekonomi Yahudi yang sudah berusia lima Abad lebih di Yathrib, ke
penguasaan total peradaban ekonomi Islam ketika menjadi Madinah dalam
kurang dari satu dasawarsa – kita tinggal menjiplaknya saja.
Untuk
lahirnya peradaban ekonomi Islam yang kuat, pertama kita harus
‘meniadakan’ atau ‘mengusir’ kekuatan-keuatan (system) ekonomi Yahudi
dari masyarakat kita. Hanya setelah kita tolak keberadaannyalah kita
bisa membangun ekonomi yang bener sesuai syariatNya.
Prinsip
meniadakan dahulu yang batil dan kemudian menggantikannya dengan yang
hak ini juga sama dengan prinsip tauhid ketuhanan kita – meniadakan
dahulu ilah (tuhan) selain Allah, baru kemudian mengakui hanya ada satu ilah
yaitu Allah - La Ilaha IlaAllah. Ini menunjukkan bahwa dalam menegakkan
sendi-sendi ekonomi-pun kita juga tidak terlepas dari pendekatan tauhid
kita.
Yang
kedua, kita harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh Rasul dan
meninggalkan apa yang dilarangnya. Bila kita diperintahkan agar harta
itu tidak boleh hanya berputar di golongan yang kaya saja – maka inilah
yang harus kita lakukan !
Yang ketiga, peradaban ekonomi Islam pasti berbeda dengan peradaban ekonomi yang dibangun Yahudi sekian lama. Kita
tidak bisa hanya sekedar mensyariah-kan aqad-aqad perjanjian mereka,
meskipun sebagai langkah awal ini juga tidak apa untuk sekedar memulai –
tetapi jelas tidak cukup, dan tidak boleh berhenti di sini.
Peradaban ekonomi Islam harus sampai bisa merubah karakter para
pelakunya, menjadi pelaku ekonomi yang santun yang saling mengutamakan
kepentingan saudaranya seperti yang tergambar dalam hadits-hadits
tersebut di atas.
Bila
para pelaku ekonomi syariah bisa seperti kaum Anshor dan Muhajirin
tersebut di atas karakternya, maka pastilah masyarakat
berbondong-bondong mengikutinya – baik yang muslim bahkan juga yang
non-muslim sekalipun.
Bila
pangsa pasar ekonomi syariah kita sekarang masih dibawah 1/20 , bisa
jadi karena umat ini sendiri belum melihat bedanya, maka sering sekali
kita mendengar ungkapan “…ah , sama saja…!”. Maka
inilah yang harus kita lakukan, merubahnya mulai dari diri kita – dari
yang kita bisa, sudah ada contoh dan tuntunan yang sempurna untuk ini.
InsyaAllah kita bisa !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar