Oleh: Muhaimin Iqbal
Dikisahkan dalam buku The White Man pada suatu masa di awal abad lalu. Seorang kepala suku Tuiavii dari Pacific Selatan berkesempatan jalan-jalan ke Eropa, dia kemudian mencatat dan menceritakan segala macam yang dilihat dan dialami selama di Eropa kepada masyarakat sukunya. Dia bercerita tentang profesi misalnya, menurut sang kepala suku ini seorang professional adalah orang yang melakukan hal yang sama berulang-ulang sampai dia sendiri bosan melakukannya !
Kemudian
ketika dia melihat kebiasaan yang aneh dari masyarakt kulit putih yang
selalu membaca surat kabar di pagi hari, apa catatan dia tentang ini ?
Dia menggambarkan surat kabar sebagai sekumpulan kertas yang dibaca
semua orang di pagi hari – agar semua orang tahu apa yang seharusnya
dipikirkan, dan agar semua orang berpikir sama.
Meskipun
observasi dari kepala suku tersebut terkesan ndeso, tetapi coba kita
pikirkan dalam-dalam. Bukankah dia sebenarnya telah memotret sesuatu
yang sebenarnya sangat jelas, tetapi kita malah tidak melihatnya.
Tanyakan kepada para professional, apa yang mereka lakukan sepanjang
mayoritas usianya – bukankan mereka memang melakukan hal yang sama
berulang-ulang sampai (kebanyakan) mereka sendiri bosan melakukannya ?
Lantas
perhatikan apa yang tersaji di surat kabar sehari-hari, juga dalam
jaman sekarang yang terjadi di televisi dan berbagai media lainnya.
Bukankan mereka berusaha menggiring opini public – agar berpikir sama
kearah yang mereka kehendaki ?
Masih
segar di ingatan kita kejadian tahun lalu di negeri ini, bagaimana
media televisi bisa memberitakan sesuatu yang bertolak belakang satu
sama lain tentang hasil pemilihan umum presiden misalnya. Tidak mungkin
keduanya benar, pasti salah satu atau keduanya salah.
Maka
barangkali kita juga perlu observasi yang ndeso seperti observasinya
kepala suku Tuiavii tersebut untuk perbagai problem masyarakat modern
sekarang ini – agar kita lebih mudah memahami duduk persoalannya
sekaligus mencari solusinya yang secara fundamental – out of the box.
Saya bayangkan misalnya ketika kepala suku tersebut melihat hal-hal yang
tidak mudah terpecahkan oleh orang-orang modern penduduk Jabodetabek
berikut :
Dia
berdiri di pinggir rel kereta komuter Jabodetabek, dia melihat kereta
penuh orang menuju Jakarta – dan kereta yang tidak kalah penuh juga
meninggalkan Jakarta. Dia berfikir : “Betapa bingungnya manusia Jabodetabek, sebenarnya mereka ingin ke Jakarta atau ingin meninggalkan Jakarta ?”
Dia
naik ke gedung tinggi di pusat kota Jakarta kemudian melihat ke bawah,
dilihatnya kendaraan penuh dan macet ke segala penjuru. Yang di utara
ingin ke selatan, yang di selatan ingin ke utara, yang di barat ingin ke
timur dan yang di timur ingin ke barat. Ini menguatkan pendapatnya : “ Orang-orang
di kota besar seperti Jakarta memang sudah sangat bingung, mereka
bahkan tidak tidak tahu apa yang diingini, mereka sebenarnya ingin di
mana ? di barat, di utara,di timur atau di selatan ?”
Bayangkan
sekarang kalau seandainya semua pihak bisa sejenak berpikir ndeso
seperti kepala suku Tuiavii ini, permasalahan kemacetan Jakarta yang
kini merambah ke seluruh Jabodetabek -
bisa saja terselesaikan. Yang suka tinggal di utara, tinggal di utara
dan bekerja di utara. Yang suka tinggal di selatan, tinggal dan bekerja
di selatan – begitu seterusnya.
Bila
orang memilih zone tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan pekerjaannya,
pasti arus lalu lintas turun drastis. Tidak mungkin dilakukan karena
sifat pekerjaan ? di jaman teknologi ini hanya sangat sedikit pekerjaan
yang sesungguhnya masih memerlukan kehadiran fisik di satu tempat. File
dengan mudah dipertukarkan, dan bahkan virtual meeting yang perlu face
to face-pun dengan mudah dan murah bisa dilakukan kini dengan
teleconference dan sejenisnya.
Memang
mungkin perlu sedikit effort untuk bisa membiasakannya, tetapi
bayangkan reward-nya. Para pekerja tidak perlu membuang waktu berjam-jam
di kendaraan setiap hari di sepanjang usia produktifnya !, bahan bakar
tidak perlu terbuang begitu banyak untuk kendaraan-kendaraan yang
menyala mesinnya tetapi dalam kondisi nyaris diam dan tidak bergerak.
Biaya kesehatan akan turun kerena turunnya exposure kerusakan
lingkungan, manusia akan lebih produktif dan akan lebih banyak quality
time bagi keluarga-keluarga yang bisa dinikmati.
Barangkali
inilah solusinya di semua persoalan yang kita mentok tidak bisa
mengatasinya, kita tinggalkan sejenak sudut pandang kita selama ini –
kita ‘pinjam’ sudut pandang yang berbeda dari para ‘kepala suku Tuiavii’
– untuk bisa melihat sesuatu yang sebenarnya sangat jelas tetapi kita
tidak bisa melihatnya dengan kacamata kita sendiri. Kita juga adalah
para professional white man – yang menurut tafsir kepala suku Tuiavii
adalah orang-orang yang melakukan sesuatu yang sama berulang-ulang –
sampai kita sendiri sebenarnya bosan tetapi tidak menyadarinya !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar